Perbudakan

Seekor monyet dengan wajah tertutup topeng bayi manusia berjalan menyusuri jalanan kota. Di dadanya, seekor anak monyet kecil tergantung lemah, digendong seperti anak manusia. Tapi ini bukanlah potret kasih sayang ibu dan anak—ini adalah pemandangan ironis tentang eksploitasi yang dibungkus hiburan murahan.

Monyet itu tidak sedang bebas mencari makan di hutan, melainkan dipaksa mengemis demi mengisi perut manusia yang memperbudaknya. Setiap langkahnya adalah hasil dari tarikan tali yang mengikat lehernya, setiap gerakannya diatur oleh tangan yang tak terlihat di foto, dan setiap koin yang dilempar penonton bukan untuknya, melainkan untuk pemiliknya. Anak monyet di gendongannya pun tak tahu bahwa sejak lahir, ia sudah masuk ke dalam lingkaran perbudakan yang sama—dilatih, dipaksa, dan dijadikan alat mencari uang.

Di mata sebagian orang, ini hanyalah tontonan unik, lucu, bahkan “tradisi” yang menghibur. Tapi di balik topeng itu, ada rasa takut, lapar, dan kelelahan yang tak pernah muncul di foto-foto viral. Hewan ini tidak memilih jalannya sendiri; ia dipaksa menjadi aktor dalam drama yang tidak pernah ia pahami, demi menghidupi tuannya yang justru menjadi rantai penjaranya.

Kita sering berpikir bahwa perbudakan hanyalah cerita lama yang berakhir di buku sejarah. Tapi kenyataannya, ia masih ada—bukan hanya pada manusia, tapi juga pada makhluk lain yang tak punya suara untuk membela dirinya. Perbudakan tidak selalu berbentuk cambuk dan rantai besi; kadang, ia tersembunyi di balik topeng lucu dan senyum palsu.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email