Manusia Dan Corona

Kata manusia: “Ya Tuhan, lindungilah kami dari musibah Corona ini, Ya Tuhaaan…”

Kata Corona: “Musibah gundulmu, atos! Aku ini sedang menjalankan tugas mulia dari Tuhanmu, untuk membereskan kerusakan yang kamu buat di bumi! Aku cuma utusan kecil, kerja sesuai perintah. Yang bikin masalah besar itu kamu, manusia.”

Manusia terdiam, lalu mencoba membela diri: “Tapi kami hanya ingin hidup damai…”

Corona terkekeh: “Hidup damai katanya? Kamu tebang hutan tanpa henti, usir satwa dari rumahnya, buang plastik ke laut, racuni udara dengan asap pabrik, dan memperdagangkan hewan liar demi pamer atau dimakan. Bahkan pasar yang jadi rumah pertamaku muncul karena ulahmu. Dan sekarang kamu menyebutku musibah?”

Pandemi ini, seperti bencana lainnya, bukanlah kejadian acak yang jatuh dari langit. Ia adalah akumulasi dari sikap manusia yang tidak menghormati alam. Alam sudah lama mengirim peringatan—banjir, kebakaran hutan, kepunahan spesies—tapi manusia menganggap semua itu hanya berita di televisi. Hingga akhirnya, peringatan itu masuk ke dalam tubuh, lewat partikel kecil yang bahkan tak bisa dilihat mata telanjang.

Ironisnya, di saat wabah memaksa manusia untuk diam di rumah, alam justru mulai bernafas lega. Langit lebih biru, udara lebih bersih, satwa liar berani keluar lagi. Mungkin di situlah maksud “tugas mulia” yang dimaksud Corona: bukan untuk membinasakan manusia semata, tapi untuk memberi bumi kesempatan pulih dari kerusakan yang kita buat.

Jadi, kalau suatu hari nanti pandemi ini benar-benar berlalu, semoga kita tak kembali menjadi musibah bagi bumi. Sebab jika kita masih keras kepala, siapa tahu… Tuhan akan mengirim “utusan” berikutnya.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email