Komplain Ketidakadilan

Biasanya, kebanyakan dari kita berteriak soal ketidakadilan bukan semata-mata karena "itu adalah ketidakadilan", tapi karena kita sedang dirugikan—kebetulan posisi kita adalah korban. Saat kita yang kehilangan, kita pasang suara lantang, memanggil semua orang untuk melihat, dan menuntut keadilan ditegakkan. Tapi, coba posisinya dibalik… kita yang diuntungkan, apakah kita akan bersuara sama kerasnya?

Ibaratnya seperti ini: kita beli pertalite di SPBU, lalu menyadari kembaliannya kurang. Seketika kita komplain, protes, bahkan mungkin membuat status di media sosial untuk memperingatkan orang lain. Tapi begitu situasinya terbalik—kembaliannya justru lebih—apa yang kita lakukan? Kebanyakan dari kita akan buru-buru memasukkan uang itu ke kantong dan cepat-cepat pergi, pura-pura tidak sadar. Karena di dalam hati, kita membenarkan diri: "Ah, cuma rezeki nomplok."

Inilah wajah ketidakadilan yang jarang kita akui: kita tidak benar-benar menolak ketidakadilan itu sendiri, kita hanya menolak ketidakadilan yang merugikan kita. Saat ketidakadilan berpihak pada kita, kita malah diam, atau bahkan menikmatinya. Padahal, jika kita konsisten, ketidakadilan tetaplah salah—entah kita yang menjadi korban atau kita yang diuntungkan.

Dan mungkin di situlah letak ujian moral yang sebenarnya. Bukan saat kita merasakan sakit karena dirugikan, tapi saat kita merasakan nikmat karena diuntungkan. Di momen itulah hati kita diuji: apakah kita benar-benar peduli pada keadilan, atau hanya peduli ketika giliran kita yang dirugikan.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email