
Di banyak kantor, ada jabatan yang tidak tercantum dalam struktur organisasi resmi, tapi semua orang tahu keberadaannya: “Karyawan Serba Bisa.” Jabatan ini tidak membutuhkan SK, tidak ada tambahan gaji, dan tidak pernah ada bonus resmi. Bedanya dengan superhero, karyawan serba bisa tidak punya jubah, hanya punya beban kerja tambahan.
Begitu atasan tahu kamu bisa Excel sedikit, kamu otomatis dianggap ahli akuntansi. Pernah bikin poster di Canva? Selamat, sekarang kamu desainer internal perusahaan. Bisa ngomong di depan orang? Jadi MC acara kantor sampai bos pensiun. Pernah colokin kabel HDMI sekali? Langsung masuk daftar teknisi darurat.
Sistem kantor punya logika sederhana: semakin kamu bisa, semakin banyak kerjaan yang bisa dilempar ke kamu. Tapi jangan berharap slip gaji ikut menyesuaikan. Perusahaan punya standar emas: kerjaan boleh berkembang biak, gaji harus stabil.
HRD punya skrip yang tak pernah basi: “Kami sangat mengapresiasi kontribusi Anda. Namun untuk tahun ini, kenaikan gaji belum bisa diberikan karena kondisi perusahaan.” Padahal di saat yang sama, laporan keuangan menunjukkan angka profit naik. Ironinya, apresiasi di kantor sering kali hanya berbentuk ucapan, bukan angka di rekening.
Bos pun jago memainkan retorika. Kalimat-kalimat manis seperti “Kamu aset penting perusahaan” atau “Kami percaya hanya kamu yang bisa” kedengarannya membanggakan, tapi sebenarnya adalah cara halus untuk menjejalkan lebih banyak kerjaan tanpa kompensasi. Aset penting biasanya diasuransikan dan dijaga nilainya. Karyawan serba bisa? Dibiarkan bertahan sendiri dengan gaji stagnan.
Perusahaan menciptakan budaya di mana loyalitas diukur dari seberapa banyak pekerjaan ekstra yang bisa kamu ambil tanpa ribut soal bayaran. Kalau Swiss Army Knife makin banyak fiturnya harganya naik, karyawan makin banyak skill justru dianggap lebih hemat—karena satu orang bisa mengerjakan tiga pekerjaan sekaligus tanpa tambahan biaya.
Fenomena ini bukan sekadar lelucon kantor. Ini adalah bentuk eksploitasi yang dibungkus dengan kalimat motivasi. Karyawan serba bisa seringkali dijadikan multifungsi gratisan: sekretaris, desainer, MC, IT support, bahkan panitia konsumsi. Semua demi efisiensi perusahaan, yang artinya: beban kerja makin padat, gaji tetap mepet.
Masalahnya, banyak karyawan akhirnya menerima ini sebagai hal biasa. Karena siapa yang berani bicara? Risiko kehilangan pekerjaan lebih menakutkan daripada menanggung kerjaan ganda. Pada akhirnya, budaya ini terus berlanjut: serba bisa sama dengan serba diperas.
Posting Komentar