Kebebasan Kita Dibatasi oleh Kebebasan Orang Lain – Sebuah Kenangan dari Kelas PPKn 2000-an
Suatu pagi di tahun 2000, lonceng sekolah berbunyi nyaring. Kami berlari ke kelas sambil menenteng buku tulis bergambar pahlawan nasional. Hari itu jadwalnya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan—atau yang akrab kami sebut PPKn yang selalu dimulai dengan suara guru yang tenang tapi tegas.
"Anak-anak," kata Bu Nunik sambil tersenyum, "hari ini kita akan belajar tentang kebebasan."
Kami semua terdiam, sebagian masih sibuk membuka kotak pensil. "Kalian tahu arti kebebasan?" tanyanya. Beberapa teman mengangkat tangan, memberi jawaban acak—mulai dari "boleh main sepuasnya" sampai "nggak dimarahin orang tua."
Kemudian beliau memberi contoh yang sampai sekarang saya ingat: "Kalian bebas menyalakan radio di rumah kalian. Tapi kalau tetangga kalian sedang sakit gigi dan tidak suka mendengar suara keras, apa yang harus kalian lakukan?"
Kami serempak menjawab, "Kecilkan volumenya, Bu!"
"Betul," katanya sambil tersenyum. "Kebebasan kalian berhenti di batas kebebasan orang lain."
KEBEBASAN KITA DIBATASI OLEH KEBEBASAN ORANG LAIN
Contoh itu sederhana, tapi seperti menempel di kepala. Dari situ saya mengerti bahwa:
- Kita boleh melakukan sesuatu, tapi harus memikirkan dampaknya bagi orang lain.
- Hidup tidak bisa hanya memikirkan diri sendiri.
- Menghormati hak orang lain adalah bagian dari menjaga hak kita sendiri.
Kalau dipikir sekarang, contoh Bu Nunik itu relevan di banyak hal:
- Kita bebas berkendara, tapi tetap harus berhenti di lampu merah.
- Kita bebas bicara di media sosial, tapi tidak boleh menyebar fitnah.
- Kita bebas memutar musik di kafe, tapi harus mematuhi aturan jam tenang.
Prinsipnya sama: kebebasan punya pagar tak kasat mata, yaitu hak orang lain.
Kalau saya gambarkan, kebebasan kita seperti lingkaran biru, dan kebebasan orang lain seperti lingkaran merah. Saat keduanya bertemu, ada area tumpang tindih—itulah batas yang harus kita jaga bersama.
Area tumpang tindih: batas kebebasan yang saling kita hormati.
Kini, PPKn sudah berganti nama jadi PKN. Tapi pesan sederhana dari kelas itu tetap hidup:
Kebebasan bukan untuk dipakai sesuka hati, tapi untuk digunakan dengan bijak dan bertanggung jawab.
Dan setiap kali saya melihat tetangga yang menyalakan musik pelan saat ada orang sakit, saya selalu teringat kelas PPKn tahun 2000-an itu—dan suara Bu Nunik yang berkata lembut, "Kebebasanmu berhenti di batas kebebasan orang lain, Nak."