rjgMtIfGYu4OB4QkmjHAeAZy7ixF2fuByIYhJHQr

Dibayar untuk Bersabar

Dibayar untuk Bersabar
Dibayar untuk Bersabar

Setelah sampai di Jakarta dan beristirahat sejenak di hotel, saya terlibat percakapan panjang dengan bapak direktur saya. Awalnya hanya obrolan ringan untuk melepas lelah perjalanan, tetapi kemudian bergeser ke sesuatu yang lebih dalam. Beliau bertanya tentang perjalanan saya di instansi ini.

Saya pun menanggapi dengan tersenyum, mengingatkan kembali bahwa beliau tentu sudah tahu bagaimana awal mula saya bekerja di instansi ini. Sebelum menjadi seorang programmer, saya memang aktif mengajar. Bertahun-tahun saya mendampingi murid-murid, terbiasa menghadapi berbagai macam karakter—dari yang rajin hingga yang bandel. Lalu, pada waktunya, saya mendapat kepercayaan baru untuk beralih peran menjadi programmer, dan sejak saat itu saya tidak lagi mengajar.


Perubahan peran ini ternyata membawa tantangan tersendiri. Saya katakan kepada beliau bahwa ketika masuk ke dunia pemrograman, saya sering merasa sulit bersabar. Proses kerja yang panjang, revisi dari banyak pihak, sistem yang error berulang-ulang, hingga koordinasi tim yang tidak selalu lancar—semuanya membuat saya cepat merasa jenuh.

Beliau tersenyum, lalu bertanya dengan nada santai,

"Kalau dulu, waktu masih aktif mengajar, apakah kamu bisa bersabar menghadapi murid-muridmu?"

Tanpa berpikir panjang saya langsung menjawab spontan,

"Iya, Pak. Waktu masih mengajar saya bisa sabar. Murid-murid saya ada yang bandel, ada yang sering mengulang kesalahan, ada yang sulit memahami pelajaran. Tapi saya tetap sabar, karena saya sadar memang itulah bagian dari pekerjaan saya. Saya dibayar bukan hanya untuk mengajar, tetapi juga untuk bersabar. Dengan kata lain, saya dibayar untuk bersabar."

Bapak direktur hanya tersenyum kecil dan mengangguk, lalu obrolan pun bergeser ke hal lain. Tetapi di hati saya, kalimat itu terus terngiang. Seakan-akan jawaban saya sendiri sedang memantulkan cermin ke arah saya.


Saya merenungkan kembali. Dulu, ketika masih aktif mengajar, saya tahu betul bahwa kesabaran adalah bagian dari pekerjaan saya. Saya tidak bisa menuntut murid langsung menguasai materi dalam sekali pertemuan. Ada murid yang harus diulang-ulang, ada yang butuh pendekatan berbeda, ada yang baru paham setelah bertahun-tahun. Itu sudah satu paket dengan profesi saya. Saya sabar bukan karena saya sangat kuat, tetapi karena saya tahu: memang itulah tugas saya.

Tetapi setelah menjadi programmer, saya merasa seolah-olah hanya dibayar untuk menyelesaikan kode dan menghasilkan program yang jadi. Maka begitu ada revisi berulang, permintaan klien berubah-ubah, atau bug yang tak kunjung hilang, saya cepat frustrasi. Padahal, bukankah situasinya sama dengan ketika saya masih mengajar dulu? Bedanya hanya muridnya.

Dulu murid saya adalah anak-anak di kelas. Sekarang "murid" saya adalah baris kode yang membandel, sistem yang suka error, rekan kerja yang masih belajar, bahkan klien yang perlu waktu untuk memahami kebutuhannya sendiri.


Firman Tuhan mengingatkan:

"Dan hendaklah kesabaran itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun."
(Yakobus 1:4)

Artinya, kesabaran bukan sekadar strategi kerja, melainkan jalan untuk membentuk karakter yang utuh di hadapan Allah.

Rasul Paulus menulis:

"Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan."
(Roma 5:3–4)

Ternyata, setiap proses yang menguji kesabaran sedang membentuk kita menjadi pribadi yang tahan uji dan penuh pengharapan.

Yesus sendiri berkata:

"Dengan ketekunanmu kamu akan memperoleh hidupmu."
(Lukas 21:19)

Kesabaran bukan hanya kunci dalam pekerjaan, tetapi juga kunci untuk bertahan dalam iman sampai pada akhirnya.


Ketika saya merenung, saya teringat pada kisah Ayub. Ia dikenal sebagai simbol kesabaran. Ayub kehilangan segalanya: anak-anaknya, hartanya, kesehatannya. Bahkan istrinya sendiri berkata,

"Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!"
(Ayub 2:9)

Namun Ayub tetap bertahan. Ia tidak memahami semua alasan penderitaannya, namun ia tetap percaya. Hasilnya? Tuhan memulihkan hidupnya dua kali lipat. Ayub mengajarkan bahwa kesabaran dalam penderitaan bukanlah sia-sia.

Saya juga teringat pada Musa. Membawa bangsa Israel keluar dari Mesir adalah pekerjaan yang luar biasa, tetapi juga melelahkan. Bangsa itu sering bersungut-sungut, menentang, bahkan menyalahkan Musa. Namun ia tetap sabar memimpin mereka, meski hatinya pun sering diuji. Bilangan 12:3 menulis,

"Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi."

Musa tahu bahwa memimpin bukan sekadar soal strategi, tetapi soal kesabaran dalam menghadapi manusia yang keras kepala.


Kedua tokoh ini menjadi teladan nyata bagi saya. Kalau Ayub bisa sabar dalam penderitaan yang begitu berat, dan Musa bisa sabar menghadapi bangsa yang keras kepala, mengapa saya tidak bisa sabar hanya karena kode yang error atau revisi klien yang berulang?

Malam itu saya menyadari, apa pun peran saya—saat masih mengajar, sekarang sebagai programmer, atau mungkin posisi lain di masa depan—benang merahnya tetap sama: saya dipanggil untuk bersabar.

Dan lebih dari sekadar soal pekerjaan, kesabaran itu sendiri adalah bukti pertumbuhan iman. Tuhan ingin saya menjadi pribadi yang tidak hanya terampil, tetapi juga sabar, setia, dan tekun. Karena pada akhirnya, seperti yang tertulis,

"Barangsiapa bertahan sampai pada kesudahannya, ia akan selamat."
(Matius 24:13)

Kesabaran adalah jalan menuju kedewasaan rohani.


Dalam setiap proses yang terasa lambat, revisi yang melelahkan, atau masalah yang tak kunjung selesai, saya diingatkan kembali pada kalimat sederhana itu: "Saya dibayar untuk bersabar."

Namun lebih dari sekadar bagian dari pekerjaan, kesabaran adalah bagian dari iman.

"Dan hendaklah kesabaran itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun."
(Yakobus 1:4)

Kesabaran mengajarkan saya untuk tetap berjalan meski hasil belum terlihat, tetap setia meski situasi tidak mudah, dan tetap percaya bahwa di balik setiap proses, Tuhan sedang membentuk saya.

"Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah."
(Galatia 6:9)

Posting Komentar