Mereka percaya bahwa Tuhan itu Maha Kuasa. Mereka yakini bahwa Tuhan sanggup melakukan apa saja—tidak ada batas bagi kehendak-Nya, tidak ada yang mustahil bagi kekuatan-Nya. Tuhan menciptakan langit dan bumi hanya dengan firman-Nya, memisahkan laut, membangkitkan yang mati, bahkan mengatur peredaran bintang dan planet dengan sempurna. Bagi mereka, semua itu masuk akal, karena memang begitulah Tuhan: berkuasa tanpa batas.
Tapi anehnya, ketika berbicara tentang kemungkinan Tuhan menjadi manusia, keyakinan itu mendadak berhenti. Kuasa-Nya yang tak terbatas tiba-tiba diberi batas. Mereka menolak mentah-mentah, seakan-akan Tuhan yang sanggup melakukan segalanya, mendadak tidak sanggup melakukan hal ini. Padahal jika kita konsisten dengan keyakinan bahwa Dia Maha Kuasa, maka mengambil rupa manusia pun seharusnya bukan hal mustahil bagi-Nya.
Di sinilah letak paradoksnya: memuja kebesaran Tuhan di satu sisi, tapi di sisi lain membatasi kehendak-Nya sesuai dengan logika yang kita anggap masuk akal. Mereka mengukur kuasa Tuhan dengan ukuran manusia, padahal definisi "Maha Kuasa" berarti melampaui segala batas pemahaman manusia.
Jika Tuhan berkehendak untuk hadir di tengah manusia sebagai manusia, itu bukan berarti Dia kehilangan kemuliaan-Nya. Justru di situlah kita bisa melihat keagungan-Nya—bahwa Dia sanggup merendahkan diri-Nya tanpa kehilangan kemahakuasaan-Nya, demi menyatakan kasih dan rencana-Nya yang kekal.