Kadang, sebuah dongeng tidak lagi dimulai dengan kalimat klasik “Pada suatu hari…” yang biasa kita dengar dari buku cerita anak-anak. Sekarang, dongeng zaman modern punya pembuka yang berbeda: “Jika saya terpilih nanti, saya berjanji akan…”
Bedanya, kalau dongeng masa kecil penuh tokoh peri, pangeran, dan naga, dongeng politik penuh tokoh berseragam safari, senyum manis di baliho, dan jargon-jargon yang sudah dipakai sejak tiga periode lalu. Janjinya terdengar manis, kadang terlalu indah untuk tidak percaya: membangun jalan di mana-mana, menghapus kemiskinan, menurunkan harga, memberi lapangan kerja, bahkan menciptakan “masa depan cerah” tanpa menjelaskan bagaimana caranya.
Sama seperti dongeng, semua berjalan indah di awal. Musik pengiringnya optimisme, tepuk tangan rakyat menjadi latarnya. Tapi begitu “ceritanya” berlanjut, kita mulai sadar bahwa sebagian janji itu ternyata hanya bumbu cerita—karakter antagonisnya tetap ada, keajaibannya hanya bertahan di musim kampanye, dan ending-nya sering kali… menggantung.
Bedanya dengan dongeng masa kecil, di dongeng politik, anak-anak tidak selalu tertidur saat mendengarnya. Justru orang dewasa yang kadang “terlena”, lupa bahwa janji tanpa rencana hanyalah kalimat manis yang diceritakan berulang-ulang setiap lima tahun sekali.
Dan seperti semua dongeng, cerita ini akan diulang lagi pada musim berikutnya. Tokohnya bisa berganti, latarnya bisa berbeda, tapi pembukanya tetap sama: “Jika saya terpilih nanti, saya berjanji akan…”