Ketika Keluarga Tak Selalu Adil

Kadang saya merasa, persetan dengan kata "kita keluarga" dan kalimat manis "orang tua tidak pernah pilih kasih". Nyatanya, sering kali orang tua memang lebih condong kepada salah satu anak. Mau dibungkus dengan alasan apa pun, anak-anak tetap bisa merasakan bedanya.


Ini bukan tentang siapa anak pertama, kedua, atau ketiga. Ini soal siapa yang berani dewasa dan berani menanggung keputusan hidupnya sendiri. Anak yang mandiri biasanya memilih diam, tidak banyak menuntut, tidak ingin merepotkan. Ia tulus ingin membuat orang tua bahagia dengan jalannya sendiri. Ironisnya, justru anak seperti ini yang sering diminta mengalah. Karena dianggap kuat, karena dianggap bisa bertahan sendiri.

Sementara itu, anak yang terbiasa manja sering kali malah dilindungi sepenuhnya. Perasaannya dijaga, langkahnya selalu dituntun, bahkan kesalahannya lebih mudah dimaafkan. Ada rasa takut orang tua kalau ia tersinggung, seolah seluruh dunia harus menyesuaikan diri dengannya.


Akhirnya, anak yang mandiri harus terbiasa menelan rasa tidak adil itu. Selalu harus kuat, selalu harus paham situasi, selalu harus dewasa lebih dulu. Padahal, bukankah semua anak berhak mendapatkan perhatian yang sama? Bukankah semua anak ingin dipeluk, didengar, dan dihargai dengan porsi yang setara?

Mungkin inilah yang sering dilupakan: anak yang terlihat kuat bukan berarti tidak butuh perhatian. Ia hanya jarang meminta, bukan berarti tidak ingin. Dan ketika orang tua lebih sering berpihak pada yang lemah, rasa sakit itu akan diam-diam membekas di hati anak yang selalu mengalah.


Namun ketika hati mulai penuh dengan kecewa, saya diingatkan bahwa kasih manusia memang terbatas, tetapi kasih Allah tidak pernah terbatas. Jika keluarga di bumi tidak selalu bisa adil, Bapa di surga tetap adil dan penuh kasih terhadap setiap anak-Nya.

"Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku." (Mazmur 27:10)

Ayat ini meneguhkan bahwa kasih Tuhan jauh melampaui kasih orang tua di dunia. Orang tua bisa salah menilai, bisa keliru membagi perhatian, tetapi Tuhan tidak pernah salah. Dia mengenal hati setiap anak, Dia tahu siapa yang sedang menahan tangis dalam diam, siapa yang memilih untuk mengalah, siapa yang merasa tidak dianggap. Di hadapan-Nya, semua anak sama berharganya.


Yusuf juga pernah mengalami ketidakadilan. Dia dibuang oleh saudara-saudaranya sendiri, dijual sebagai budak, bahkan dipenjara karena fitnah yang tidak dilakukannya. Namun Yusuf tetap memilih setia kepada Tuhan, dan akhirnya ia dipakai untuk menyelamatkan banyak orang. Kisah Yusuf mengingatkan kita bahwa ketidakadilan manusia tidak mampu membatalkan rencana Allah, dan kasih-Nya selalu bekerja mendatangkan kebaikan bagi orang yang berharap kepada-Nya. Dari situ kita belajar bahwa kekuatan sejati bukan diukur dari seberapa sering kita diperlakukan adil oleh manusia, tetapi dari seberapa teguh kita tetap mengasihi, meski dunia tidak memperlakukan kita dengan adil.

"Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain." (1 Korintus 13:4–5)

Ini memang berat untuk dijalani, apalagi ketika hati merasa diperlakukan tidak adil. Tapi inilah panggilan kita: tetap belajar mengasihi meski rasanya tidak seimbang.


Keluarga mungkin tidak akan pernah benar-benar adil. Akan selalu ada anak yang lebih diperhatikan, ada yang lebih dimanja, ada pula yang lebih sering diminta mengalah. Tapi kita bisa memilih untuk tetap dewasa dalam menyikapinya. Kita bisa belajar untuk berkata dalam hati: "Aku memang sering dianggap kuat, tapi aku tidak sendirian, karena ada Tuhan yang menjadi sumber kekuatanku."


Dan di situlah kita menemukan arti kedewasaan yang sejati: berani bertanggung jawab atas hidup sendiri, tetap menjaga kasih kepada orang tua dan saudara, dan menaruh pengharapan penuh hanya pada Tuhan. Sebab kasih manusia bisa berat sebelah, tapi kasih Kristus sempurna dan tidak pernah gagal.

"Kasih tidak berkesudahan." (1 Korintus 13:8a)

Itulah yang akan terus menopang kita, meski dunia kadang tidak berpihak.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email