Biasakan yang benar, jangan membenarkan yang biasa
Kalimat ini saya temukan hari ini saat melakukan perjalanan dengan kereta Argo Lawu dari Solo Balapan menuju Gambir, Jakarta. Kutipan tersebut muncul di layar iklan KAI TV yang terpampang di dalam gerbong. Sekilas terdengar sederhana, tetapi ketika direnungkan lebih dalam, kata-kata ini terasa seperti cermin yang menegur hati saya.
Kita hidup di tengah banyak kebiasaan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang suka pada rutinitas. Yang dilakukan terus-menerus akan terasa nyaman, dan akhirnya dianggap wajar. Namun pertanyaannya: apakah yang biasa itu selalu benar?
Ada banyak contoh dalam hidup sehari-hari:
- Berbohong kecil. Awalnya hanya untuk menutupi kesalahan. Lama-lama jadi kebiasaan, hingga hati nurani tumpul. Kita berkata, "Ah, semua orang juga melakukannya."
- Jam karet. Terlambat dianggap lumrah, padahal itu sama saja dengan merampas waktu orang lain. Tetapi karena begitu sering dilakukan, kita tidak merasa bersalah.
- Mengambil keuntungan dengan cara curang. Dari memakai barang kantor untuk kepentingan pribadi, hingga praktik korupsi. Mungkin kecil, tetapi karena terbiasa, akhirnya dianggap wajar.
- Suka mengeluh. Orang Israel di padang gurun adalah contoh nyata. Meski sudah diselamatkan dari perbudakan Mesir, mereka terbiasa bersungut-sungut setiap kali menghadapi kesulitan. Lama-lama, itu menjadi "kebiasaan nasional" mereka, hingga membuat Allah murka (Bilangan 14:26–30).
Hal-hal seperti ini mengingatkan kita bahwa tidak semua yang biasa itu benar. Sebaliknya, bisa jadi yang sudah biasa itu justru salah.
Alkitab mengingatkan dengan tegas:
"Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna."
(Roma 12:2)
Dunia punya banyak "kebiasaan" yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Dunia mengajarkan balas dendam, Kristus mengajarkan kasih. Dunia menganggap mabuk atau pergaulan bebas itu hal wajar, tetapi firman Tuhan menegaskan tubuh kita adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19–20). Dunia membenarkan dosa karena sudah "biasa", tetapi Allah memanggil kita untuk hidup dalam kebenaran.
Yesus berkata:
"Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."
(Yohanes 14:6)
Artinya, kebenaran bukan hasil kesepakatan manusia, bukan apa yang sudah "biasa" dilakukan orang, tetapi berakar pada pribadi Kristus.
Salah satu contoh yang indah ada pada hidup Daniel. Ketika raja Darius mengeluarkan perintah supaya tidak ada seorang pun yang boleh berdoa kepada allah mana pun kecuali kepada raja, Daniel tahu bahwa ancaman itu serius. Namun apa yang ia lakukan?
"Demi didengarnya bahwa surat perintah itu telah dibuat, pergilah ia ke rumahnya. Dalam kamar atasnya ada tingkap-tingkap yang terbuka ke arah Yerusalem; tiga kali sehari ia berlutut, berdoa serta memuji Allahnya, seperti yang biasa dilakukannya."
(Daniel 6:11)
Daniel memilih membiasakan yang benar — tetap setia berdoa kepada Allah — sekalipun itu berlawanan dengan kebiasaan yang dipaksakan dunia. Hasilnya, Allah menyelamatkannya dari mulut singa, dan iman Daniel menjadi kesaksian bagi bangsa-bangsa.
Di sisi lain, orang Israel di padang gurun adalah contoh sebaliknya. Mereka terbiasa bersungut-sungut, terbiasa menuduh Musa, terbiasa tidak percaya pada janji Tuhan. Yang salah menjadi kebiasaan, dan akhirnya dianggap biasa. Akibatnya, satu angkatan penuh tidak masuk ke Tanah Perjanjian.
Perjalanan dengan kereta api mengingatkan saya pada perjalanan hidup. Kereta hanya akan sampai di tujuan jika tetap berjalan di atas rel. Jika keluar sedikit saja dari rel, akibatnya fatal. Demikian juga dengan kita: hidup ini harus dijalani di atas "rel kebenaran" firman Allah.
Mungkin di sekitar kita banyak orang yang memilih jalan pintas, mengikuti kebiasaan dunia, atau mencari pembenaran untuk hal-hal yang salah. Tetapi sebagai orang percaya, kita dipanggil untuk berbeda. Firman Tuhan berkata:
"Latihlah dirimu beribadah."
(1 Timotius 4:7b)
Membiasakan yang benar memang butuh latihan, kesabaran, bahkan keberanian untuk berbeda. Namun jika kita setia, kebenaran itu akan menjadi kebiasaan baru yang kudus.
Kutipan yang saya temukan hari ini mengingatkan: jangan membenarkan yang salah hanya karena itu sudah biasa. Tetapi biasakanlah yang benar, sampai akhirnya yang benar itu menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari.
Hidup ini terlalu berharga untuk dijalani dengan sekadar mengikuti kebiasaan manusia. Mari belajar dari Daniel yang membiasakan doa, bukan dari bangsa Israel yang membiasakan sungut-sungut. Mari berjalan di atas rel kebenaran Kristus, sampai pada akhirnya kita tiba di tujuan: kehidupan kekal bersama Allah.