
Coba buka media sosial Anda sekarang. Apa yang Anda lihat? Mungkin teman yang sedang liburan di pantai, rekan kerja yang baru dipromosikan, atau keluarga yang tertawa bahagia di meja makan. Semuanya terlihat sempurna, bukan?
Lalu, kita menunduk dan melihat hidup kita sendiri. Mungkin kita sedang cemas memikirkan cicilan, baru saja bertengkar dengan pasangan, atau merasa lelah tanpa alasan yang jelas. Seketika, muncul pertanyaan di kepala: "Kenapa hidupku tidak sebahagia mereka? Apa cuma saya yang begini?"
Tenang, Anda tidak sendirian. Sama sekali tidak.
Faktanya adalah, kita semua sedang melakukan hal yang sama. Kita semua adalah pemain sandiwara ulung dalam pertunjukan yang bernama kehidupan. Kita punya dua versi diri: satu yang kita tunjukkan pada dunia, dan satu lagi yang kita simpan rapat-rapat untuk diri sendiri.
Bayangkan saja kita punya sebuah "panggung depan"
. Di sinilah kita mengenakan topeng terbaik kita. Topeng senyuman, topeng "semua terkendali", dan topeng "saya baik-baik saja". Di panggung ini, kita adalah karyawan yang rajin, teman yang asyik, dan anggota keluarga yang harmonis. Cerita sedih, aib, dan air mata tidak ada dalam naskahnya.
Tapi saat pertunjukan selesai dan tirai ditutup, kita masuk ke "panggung belakang"
. Di sinilah kita melepas semua topeng itu. Di ruang ini, kita boleh menjadi lelah, bingung, marah, atau sedih. Di sini, kita menjadi diri kita yang paling jujur, dengan segala kekacauan dan kekurangannya.
Pertanyaannya, mengapa kita merasa perlu melakukan ini?
Alasan utamanya sederhana saja: kita takut dihakimi. Kita takut dianggap lemah, gagal, atau aneh. Rasa malu atau "aib" adalah sesuatu yang kita yakini akan membuat orang lain memandang kita berbeda. Jadi, untuk melindungi diri, kita menyembunyikannya. Selain itu, kita juga seringkali tidak ingin menjadi beban bagi orang lain. "Ah, mereka pasti punya masalah sendiri," pikir kita, lalu memilih menanggung semuanya sendirian.
Tekanan dari lingkungan, apalagi media sosial yang selalu menuntut kita tampil sempurna, membuat topeng ini semakin sulit dilepaskan.
Awalnya mungkin terasa aman, tapi kebiasaan ini punya harga yang mahal. Saat semua orang memakai topeng "bahagia", kita jadi merasa sangat kesepian dengan masalah kita. Kita merasa menjadi satu-satunya orang yang berantakan di dunia yang tampak begitu rapi. Padahal, di balik topeng mereka, orang lain mungkin merasakan hal yang sama persis.
Inilah ironi terbesarnya: kita merasa sendirian, bersama-sama.
Terus-menerus memendam perasaan juga sangat melelahkan jiwa. Hubungan yang kita bangun jadi terasa kurang dalam, karena kita tidak pernah benar-benar menunjukkan siapa diri kita. Kita hanya menghubungkan topeng kita dengan topeng orang lain.
Lalu bagaimana? Apakah kita harus menceritakan semua masalah kita ke semua orang? Tentu tidak.
Solusinya jauh lebih sederhana: mulailah dengan mengizinkan satu atau dua orang yang paling Anda percaya untuk masuk ke "panggung belakang" Anda.
Cobalah berbagi sedikit saja dari apa yang benar-benar Anda rasakan. Anda akan kaget saat menemukan bahwa balasan yang Anda dapatkan bukanlah cemoohan, melainkan kalimat seperti, "Saya ngerti kok rasanya," atau bahkan, "Jujur, saya juga lagi merasakan hal yang sama."
Kesadaran ini mengubah cara kita memandang orang lain. Di balik setiap senyuman yang kita lihat, ada sebuah perjuangan yang tidak kita ketahui. Di balik setiap citra yang sempurna, ada manusia biasa yang juga merasa takut dan tidak aman.
Sama seperti kita.
Posting Komentar