
Orang-orang melihat gelar "Senior Developer
" di profil saya dan mungkin membayangkan seseorang yang tenang, selalu punya jawaban, dan memegang kendali penuh atas arsitektur kode
yang kompleks. Di satu sisi, gambaran itu tidak sepenuhnya salah. Saya dipercaya untuk membuat keputusan teknis yang besar, membimbing tim, dan menjadi orang terakhir yang dihubungi saat sistem mengalami masalah kritis.
Namun di balik layar itu, ada sebuah realitas yang jarang saya bicarakan. Realitas di mana saya sering merasa cemas tentang masa depan. Di mana saya sering kedapatan pelupa pada hal-hal kecil, melamun parah di tengah-tengah pekerjaan, dan terkadang, pikiran saya ngeblank begitu saja.
Bagaimana bisa seorang senior, yang seharusnya menjadi pilar tim, merasa seperti ini? Selama ini, saya mencoba memahami paradoks ini, dan inilah pengakuan saya.
Menjadi senior bukan berarti masalah hilang, masalahnya hanya berubah bentuk dan bebannya menjadi lebih berat. Ada sebuah tas ransel tak terlihat yang bebannya terus bertambah seiring naiknya jabatan.
Isinya adalah ekspektasi. Ekspektasi bahwa saya harus selalu lebih tahu, lebih cepat, dan lebih bijaksana. Isinya adalah tanggung jawab atas stabilitas sistem yang digunakan ribuan, bahkan jutaan orang. Isinya adalah isolasi; saat junior buntu, mereka bertanya pada saya. Saat saya buntu, seringkali saya hanya bisa bertanya pada Google dan tumpukan dokumentasi yang dingin.
Tas ransel ini saya bawa setiap hari. Termasuk saat saya mengerjakan pekerjaan kedua untuk mengejar target-target di masa depan. Termasuk saat deadline
dari dua arah menerjang tanpa ampun.
Saya juga harus mengakui, imposter syndrome
itu nyata, bahkan di level senior. Bedanya, ketakutannya bukan lagi, "Apakah saya bisa menulis kode ini?" melainkan, "Apakah keputusan arsitektur yang saya ambil ini akan menjadi penyesalan besar lima tahun dari sekarang?".
Setiap hari adalah pertarungan melawan perasaan bahwa saya hanyalah seorang penipu yang beruntung, yang entah bagaimana berhasil meyakinkan semua orang bahwa saya tahu apa yang saya lakukan. Perasaan ini, dikombinasikan dengan tekanan eksternal, adalah resep sempurna untuk kecemasan kronis.
Namun, di atas semua tekanan teknis itu, ada satu kecemasan yang lebih dalam dan lebih fundamental. Kecemasan yang muncul di saat-saat hening, setelah semua layar mati. Ini bukan tentang bug
atau deadline
, tapi tentang masa depan anak dan istri saya.
Industri teknologi tidak punya belas kasihan. Setiap beberapa tahun, ada framework
, bahasa
, atau paradigma
baru yang harus dikejar. Pikiran yang dulu terasa tajam, kini saya rasakan butuh waktu lebih lama untuk menyerap konsep-konsep baru. Pertanyaan di kepala saya pun berubah dari "Apakah saya bisa memecahkan masalah ini?" menjadi "Sampai kapan saya bisa terus relevan untuk menafkahi mereka?".
Kecemasan inilah yang menjadi bahan bakar di balik semua ini. Inilah yang mendorong saya mengambil pekerjaan dobel, berharap bisa menabung cukup sebelum saya dianggap 'kedaluwarsa'. Ini adalah ketakutan terbesar seorang profesional di industri yang menjadikan kecepatan berpikir sebagai mata uang utama: bagaimana jika suatu hari nanti, saya sudah tidak mampu lagi berpikir secepat itu?
Saya sampai pada satu titik di mana saya sadar: saya tidak bisa terus seperti ini. Saya tidak bisa terus "menambal" masalah dengan kopi atau begadang. Sistem ini tidak berkelanjutan dan sedang menuju kegagalan total.
Belakangan ini, saya membaca sebuah artikel tentang burnout
di kalangan profesional teknologi yang benar-benar menyadarkan saya. Idenya sederhana namun sangat mengena: Saya harus berhenti memperlakukan diri saya seperti mesin dan mulai melihatnya sebagai sebuah sistem yang butuh dirawat. Sebagai seorang programmer, saya dilatih untuk menganalisis sistem yang kompleks, mencari bottleneck
, dan melakukan optimasi
. Mengapa saya tidak menerapkan keahlian itu pada sistem terpenting yang saya miliki: diri saya sendiri?
Dari sumber itulah saya menemukan sebuah konsep yang sangat pas: "Refactoring" diri sendiri
. Saya sadar, saya tidak perlu menulis ulang seluruh hidup saya secara drastis. Saya hanya perlu memperbaiki bagian-bagian yang tidak efisien dan rentan rusak sebelum semuanya benar-benar hancur.
Ini bukan lagi pilihan, tapi sebuah keharusan. Rencana saya adalah memulai dari hal kecil. Saya harus mulai menciptakan ritual "tutup laptop" yang tidak bisa diganggu gugat. Saya harus berani mengalokasikan waktu untuk hobi yang tidak ada hubungannya dengan layar. Saya perlu belajar untuk lebih mempercayai tim saya dengan mendelegasikan tugas menantang, bukan karena saya tidak bisa, tetapi karena mereka juga perlu tumbuh. Dan yang paling sulit, saya harus mulai lebih jujur pada direktur dan tim tentang timeline
yang realistis.
Saya tahu ini tidak akan mudah dan butuh waktu. Tapi saya percaya ini bukanlah tanda kelemahan. Justru, ini adalah ciri seorang arsitek sistem
yang baik—membangun sesuatu yang tidak hanya berfungsi hari ini, tetapi juga kokoh dan bisa diandalkan untuk jangka panjang.
Saya masih seorang manusia yang sering cemas. Saya sadar nilai saya tidak diukur dari seberapa banyak beban yang bisa saya angkat, melainkan dari seberapa baik saya bisa merancang sistem—baik itu kode maupun hidup saya sendiri—agar berkelanjutan.
Posting Komentar