Minggu ini, saya merasa Tuhan sedang menyuguhkan sebuah pemandangan yang ganjil, bahkan membingungkan bagi hati dan pikiran. Seakan-akan saya sedang duduk di kursi penonton, melihat dua adegan yang berjalan bersamaan di panggung yang sama, namun nadanya begitu berbeda.
Pertama, saya melihat seorang ibu menangis memeluk foto anaknya yang telah mati dibunuh. Tangisnya bukan sekadar air mata, tapi jeritan jiwa yang patah, kehilangan yang tidak akan pernah bisa dibayar dengan apa pun di dunia. Di sisi lain, hanya beberapa langkah dari situ, seorang ibu lain bersorak gembira, memeluk orang-orang di sekitarnya, karena anaknya dijatuhi hukuman yang dianggap ringan atas pembunuhan tersebut. Dua wajah ibu, dua hati ibu, dua dunia yang begitu bertolak belakang—diperlihatkan bersamaan di hadapan kita.
Kedua, saya mendengar pekik "Allahu Akbar" dan "Haleluya" terdengar berdekatan, seakan dua keyakinan berbeda sedang berjalan berdampingan. Bukan dalam doa bersama yang penuh damai, tetapi dalam situasi yang dipenuhi ketegangan, pembelaan, dan pembenaran masing-masing pihak. Sebuah ironi yang memaksa kita bertanya, apakah perbedaan iman ini benar-benar bisa bertemu, ataukah hanya berdiri di garis yang sama secara kebetulan, tanpa benar-benar saling memahami.
Dua peristiwa ini, walau berbeda bentuk, terasa seperti cermin yang memantulkan betapa kompleksnya hati manusia. Kita bisa berduka sekaligus bersorak, kita bisa memuji Tuhan sekaligus memihak, kita bisa membenarkan yang kita cintai meski itu berarti menolak kebenaran yang pahit. Dan entah mengapa, minggu ini saya merasa Tuhan sedang mengingatkan bahwa keadilan di dunia sering kali datang dengan wajah yang ganjil—dan di tengah semua itu, hati manusia akan selalu menjadi medan yang paling rumit untuk dipahami.