Mengapa sejak dulu saya menyukai ajaran Yesus? Salah satu alasannya adalah karena keberanian-Nya untuk berkata benar, bahkan kepada orang-orang yang dianggap paling suci pada zamannya. Yesus tidak segan mengkritik para pemimpin agama dan ahli Kitab Suci yang hidup dalam kemunafikan—mereka yang pandai berbicara tentang kebenaran, tetapi tindakannya justru berlawanan dengan ajaran yang mereka sampaikan. Yesus menyebut mereka licik, penuh kepura-puraan, dan lebih mementingkan citra lahiriah daripada hati yang murni. (Matius 23:13-30)
Bagi saya, itu sangat menginspirasi. Sebab Yesus menunjukkan bahwa iman sejati bukanlah soal gelar rohani, posisi di mimbar, atau banyaknya ayat yang dihafal. Iman sejati diukur dari keselarasan antara perkataan dan perbuatan. Ia membongkar topeng mereka yang memanfaatkan agama untuk kekuasaan, keuntungan, atau pujian manusia.
Ajaran-Nya membuat saya sadar bahwa kebenaran sering kali menuntut keberanian untuk menegur yang salah, sekalipun orang itu punya posisi tinggi atau dianggap tidak tersentuh. Dan itulah salah satu alasan mengapa hati saya selalu tertarik pada sosok-Nya—karena Yesus tidak hanya mengajarkan kasih, tetapi juga keadilan, kejujuran, dan integritas yang tidak bisa dibeli oleh siapa pun.