Covid-19 perlahan menjadi bagian dari cerita masa lalu. Puncak kekacauan, kepanikan, dan ketakutan yang pernah menguasai dunia kini mulai mereda. Setelah mudik Lebaran ini selesai, rasanya kita tidak akan lagi melihat lonjakan kasus yang signifikan. Kekebalan imunitas sudah mulai terbentuk, baik dari vaksinasi maupun dari paparan alami yang membuat tubuh belajar melawan virus ini.
Saya ingat beberapa waktu lalu, saya, istri, dan anak sempat demam. Tidak ada kepanikan, tidak ada buru-buru tes Antigen atau PCR. Kami melewatinya seperti demam biasa—istirahat, makan, minum, dan sembuh. Mungkin itu Covid-19, mungkin bukan, tapi kami tidak menjadikannya sesuatu yang menakutkan. Teman-teman saya pun ada yang positif Covid-19 dan tetap santai, hanya menjalani WFH sambil bercanda di grup. Beda sekali dengan awal pandemi, ketika satu hasil tes positif saja bisa membuat seluruh lingkungan panik.
Kenyataannya, mereka yang tidak bisa bertahan sudah lebih dulu pergi. Pahit untuk diakui, tapi itulah yang disebut seleksi alam. Sama seperti nenek moyang kita yang berhasil melewati zaman es, perang, kelaparan, dan wabah penyakit di masa lalu, kita pun melewati satu bab besar dalam sejarah manusia: pandemi global.
Puji Tuhan, saya, istri, dan anak lolos dari seleksi alam ini. Dan sekarang, kami menurunkan keturunan yang insya Allah akan punya imun yang lebih kuat, tubuh yang lebih siap menghadapi ancaman serupa di masa depan. Mungkin inilah cara alam bekerja—menyaring, menguatkan, dan mempersiapkan generasi berikutnya.
Saat ini, kita mungkin sudah bisa tersenyum dan bernapas lega. Tapi di balik senyum itu, ada rasa hormat untuk mereka yang sudah pergi, ada rasa syukur untuk kesempatan yang masih diberikan, dan ada kesadaran bahwa hidup ini memang rapuh—namun justru karena itulah, kita harus menjalaninya dengan penuh rasa syukur dan keberanian.