Manifesto Kekecewaan Rakyat

Tidak pernah sesakit dan sekecewa ini pada negeri sendiri. Negeri yang kusebut tanah air, tempat berpijak dan pulang, kini terasa asing. Tanah ini seharusnya milik rakyat, tetapi yang merusaknya adalah mereka yang lupa amanah. Mereka yang menganggap kursi kekuasaan sebagai warisan, bukan titipan. Mereka yang lupa bahwa jabatan adalah alat untuk melayani, bukan menindas.

Rakyat bukan musuh. Rakyat adalah pemilik sah negeri ini. Mereka yang bekerja dari pagi hingga larut, membanting tulang di jalanan, di sawah, di pasar, agar hidup tetap berjalan. Tetapi apa balasannya? Pajak naik, harga kebutuhan melambung, segala sesuatu makin mahal. Seolah-olah rakyat hanya sapi perah, sementara penguasa hidup dalam kenyamanan yang tak tersentuh.

Luka itu semakin dalam ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, kehilangan nyawanya. Entah ia saat itu sedang mengantarkan makanan dan kebetulan melintas di lokasi demonstrasi, atau memang ikut bersuara dalam barisan massa, tetapi akhirnya ia tetap menjadi korban. Ia mati bukan karena takdir semata, tetapi karena roda mobil polisi. Polisi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat justru berubah menjadi ancaman. Apa artinya negara hukum bila aparat melindas rakyat? Apa artinya demokrasi bila suara rakyat justru berujung kematian?

Demo ini pun tak akan berlarut-larut jika pemerintah atau DPR mau membuka pintu dialog. Jika suara rakyat benar-benar mau didengar, jika ruang diskusi dan solusi dibuka, jalanan tidak akan penuh dengan amarah dan bentrokan. Tetapi ketika telinga kekuasaan ditutup, rakyat tidak punya pilihan lain kecuali turun ke jalan.

Kita tidak boleh diam. Diam berarti setuju. Diam berarti rela ditindas. Membungkam suara rakyat sama saja menghapus makna kemerdekaan. Membungkam adalah pengkhianatan terhadap demokrasi, terhadap konstitusi, terhadap nurani.

Apakah ini negeri merdeka yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata? Apakah ini cita-cita para pendiri bangsa? Ataukah kita hanya hidup dalam sandiwara, di mana rakyat hanyalah figuran sementara kekuasaan terus bermain sebagai lakon utama?

Rakyat berhak marah. Rakyat berhak kecewa. Tetapi lebih dari itu, rakyat berhak bersuara. Suara rakyat tidak boleh hilang, karena suara rakyat adalah suara kebenaran. Dan kebenaran tidak bisa dibunuh—meski bisa dicoba untuk dibungkam.

Hari ini, dari luka dan kekecewaan, kita belajar satu hal: negeri ini wajib dibenahi. Jika tidak, maka yang tersisa hanyalah puing-puing keadilan dan luka yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Kita harus terus bersuara. Kita harus terus melawan ketidakadilan. Karena negeri ini hanya akan benar-benar merdeka bila rakyatnya berani menolak ditindas, dan berdiri tegak mempertahankan haknya.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email