
Pagi ini, di hadapan saya ada sepiring nasi, ikan balado, dua tempe, dan sambal. Harganya sepuluh ribu rupiah
. Disiapkan oleh seorang ibu kantin yang ramah. Disantap sambil memulai hari.
Mungkin untuk hari ini, Tuhan tidak meminta saya untuk mencari makna-makna rumit di balik ikan dan tempe ini. Mungkin hari ini, Tuhan hanya ingin saya duduk diam dan menyadari tiga hal yang sangat mendasar:
Hal pertama dan terutama: makanan ini adalah anugerah. Di dunia di mana banyak orang terbangun dengan perut kosong, memiliki hidangan hangat di pagi hari adalah sebuah berkat yang luar biasa. Iman tidak selalu tentang teologi yang rumit. Iman yang paling dasar adalah kemampuan untuk mengenali tangan Tuhan dalam hal-hal yang paling biasa.
Tuhan tidak hanya ada di gereja atau saat kita membaca Alkitab. Dia ada di sini, sekarang, dalam wujud nasi yang hangat, dalam rasa gurih ikan dan tempe, bahkan dalam pedasnya sambal yang membangunkan semangat. Renungannya sesederhana ini: "Terima kasih, Bapa, untuk makanan ini. Engkau baik." Titik. Tidak perlu ada tambahan. Dalam ucapan syukur yang tulus itu, hadirat-Nya sudah terasa.
Piring ini tidak muncul secara ajaib. Ada sebuah rantai panjang dari tangan-tangan yang bekerja, yang mungkin tidak pernah saya kenal, namun Tuhan pakai untuk memberkati saya hari ini.
- Ada nelayan yang melaut di kegelapan malam untuk menangkap ikan ini.
- Ada petani yang menanam kedelai dan padi, merawatnya berbulan-bulan.
- Ada sopir yang mengantarkan semua bahan ini ke pasar.
- Dan tentu saja, ada ibu kantin yang bangun pagi-pagi sekali, memasak dengan keahliannya, dan melayani saya dengan senyuman.
Merenungkan mereka adalah bentuk doa. Mendoakan agar Tuhan memberkati pekerjaan mereka, kesehatan mereka, dan keluarga mereka. Iman terasa lebih nyata bukan saat kita sibuk mencocokkan tempe ini dengan sebuah ayat, tapi saat kita benar-benar ingat dan mendoakan orang-orang di baliknya. Tiba-tiba, makan pagi bukan lagi aktivitas egois, melainkan sebuah tindakan persekutuan dengan seluruh ciptaan Tuhan.
Hidangan ini harganya sepuluh ribu. Bukan makanan mewah, tapi lebih dari cukup untuk memberi saya energi. Ini adalah pelajaran paling nyata dari doa yang kita ucapkan setiap hari: "Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya."
Di tengah dunia yang terus-menerus mendorong kita untuk ingin lebih—lebih banyak uang, lebih banyak barang, lebih banyak pengakuan—sepiring nasi ini menjadi pengingat yang kuat tentang arti kata cukup
. Tuhan menyediakan apa yang kita butuhkan, tepat pada waktunya. Rasa damai dan kepuasan dalam kesederhanaan adalah salah satu buah Roh yang paling manis.
Jadi pelajaran pagi ini sederhana saja. Syukuri apa yang ada di piring, doakan ibu yang memasak, dan jalani hari dengan perasaan cukup. Rasanya tidak perlu lebih rumit dari itu untuk memulai hari bersama Tuhan.
Posting Komentar