rjgMtIfGYu4OB4QkmjHAeAZy7ixF2fuByIYhJHQr

Elegi Nalar dan Iman

Elegi Nalar dan Iman: Menemukan Tuhan di Ujung Mikroskop
Sebuah Refleksi Ontologis tentang Sains, Kebijakan, dan Pencarian Makna

Manusia adalah makhluk amfibi. Kita hidup di dua alam sekaligus: alam materi yang terukur oleh angka, dan alam makna yang hanya bisa diraba oleh jiwa. Sejak Aristoteles menggoreskan kalimat abadi "All men by nature desire to know" dalam gulungan papirusnya, peradaban kita bergerak karena rasa lapar yang tak terpuaskan akan kebenaran.

Namun, di abad ke-21 ini, kita menyaksikan sebuah tragedi epistemologis. Kita memiliki teknologi untuk membelah atom dan mendarat di Mars, namun kita gagap saat harus menentukan kebijakan sederhana yang memanusiakan manusia. Kita melihat Sains (Berpikir) dan Agama (Beriman) saling menghunus pedang, seolah keduanya adalah musuh bebuyutan yang berebut takhta kebenaran.

Esai ini adalah upaya radikal untuk mendamaikan keduanya. Bukan dengan cara kompromi yang lemah, melainkan dengan membedah batas-batas nalar manusia—mulai dari arogansi kebijakan negara, paradoks biologi, ancaman kecerdasan buatan, hingga keheningan metafisik di hadapan Sang Pencipta.

Bagian I: Tirani Abstraksi dan Dosa Kaum Rasionalis

Perjalanan nalar modern dimulai dari kamar kerja Rene Descartes yang dingin. Dengan semboyan Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada), ia menobatkan akal budi sebagai raja. Indera bisa menipu, katanya. Hanya logika murni yang abadi.

Rasionalisme memang melahirkan kemajuan matematika dan hukum. Namun, ketika rasionalisme ditarik dari filsafat ke dalam koridor kekuasaan (politik), ia sering bermutasi menjadi monster bernama Teknokrasi. Ini adalah keyakinan angkuh bahwa masalah manusia bisa diselesaikan semata-mata dengan rumus di atas kertas, tanpa perlu menyentuh tanah yang becek.

Studi Kasus: Tragedi Food Estate Gunung Mas

Lihatlah luka menganga di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Proyek Food Estate (Lumbung Pangan) adalah monumen kegagalan rasionalisme murni. Di atas meja birokrat Jakarta, logikanya tampak sempurna bak silogisme matematika:

PREMIS MAYOR: Indonesia butuh pangan.
PREMIS MINOR: Ada hutan luas di Kalimantan.
KESIMPULAN: Buka hutan, tanam singkong, panen raya.

Namun, logika ini melakukan apa yang disebut filsuf sebagai Kekerasan Abstraksi. Pembuat kebijakan mengabaikan realitas partikular. Mereka tidak mencium bau tanah di sana yang ternyata pasir kuarsa. Mereka tidak mendengar kearifan lokal. Akibatnya? Triliunan rupiah menguap, hutan gundul, dan singkong tumbuh kerdil. Rasio yang tidak mau "turun ke bumi" bukan hanya salah, tapi juga merusak.

Bagian II: Pemberontakan Fakta dan Jeritan Empirisme

Di seberang jurang, John Locke berteriak mengingatkan: "Nihil in intellectu quod non prius fuerit in sensu"—Tidak ada apa pun di akal budi yang tidak didahului oleh pengamatan indera.

Filsafat Empirisme bukan sekadar soal pengumpulan data statistik. Ia adalah manifestasi dari Kerendahan Hati Politik. Ia mengajarkan bahwa manusia lahir sebagai Tabula Rasa (kertas kosong), dan pengetahuan sejati tumbuh dari pengalaman rakyat jelata, bukan dari asumsi elit. Dalam konteks negara, empirisme mewujud dalam satu kata sakral: Uji Publik.

Studi Kasus: Angka vs. Air Mata (Polemik UKT)

Ketika wacana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) digulirkan, argumen pemerintah sangat rasional: "Inflasi naik, biaya operasional kampus butuh penyesuaian." Secara matematik, itu benar.

Namun, Empirisme membanting argumen itu dengan fakta brutal: Mahasiswa yang makan sehari sekali demi bayar kos, orang tua buruh tani yang gagal panen. Data empiris ini—jeritan penderitaan manusia—adalah fakta yang lebih valid daripada simulasi Excel di kantor kementerian. Ketika kebijakan dibatalkan karena protes, itu adalah kemenangan Empirisme. Itu adalah bukti bahwa Fakta Lapangan adalah hakim tertinggi yang sanggup membatalkan vonis penguasa.

Bagian III: Ketika Sains Kehilangan Nurani (Scientism)

Namun, kita harus waspada. Jika kita terlalu memuja data dan sains, kita jatuh ke lubang lain yang tak kalah berbahaya: Scientism—penyembahan terhadap sains sebagai satu-satunya sumber kebenaran, sambil membuang etika dan agama ke tong sampah.

Sains itu buta nilai. Ia bisa memberi tahu kita cara membelah atom, tapi tidak bisa memberi tahu kita apakah atom itu harus dijadikan listrik atau bom nuklir. Tanpa panduan etika dan teologi, sains mengalami kelumpuhan interpretasi (Underdetermination).

Paradoks Bioetika: Dilema Si Kembar Siam

Mari kita uji batas nalar kita dengan kasus ekstrem: Pernikahan dengan kembar siam tipe Dicephalus (Dua kepala, satu tubuh, satu alat reproduksi). Jika seorang pria menikahi mereka, apakah itu Monogami atau Poligami?

  • Sains Biologi berkata: "Ini Monogami."
    Karena secara anatomi dan fisiologi reproduksi, interaksi seksual hanya terjadi pada satu organisme biologis. Tidak ada dua tubuh yang terpisah.
  • Teologi & Etika berkata: "Ini Poligami."
    Karena hakikat manusia (Imago Dei) terletak pada Jiwa dan Kesadaran. Ada dua pribadi yang berpikir, maka ada dua subjek hukum.

Lihatlah betapa tak berdayanya sains di sini. Fakta fisiknya tunggal, tapi tafsirnya ganda. Sains menyediakan Fakta, tapi Agama menyediakan Makna. Jika kita membuang agama dan hanya memakai biologi, kita mereduksi manusia sekadar menjadi "gumpalan daging yang berfungsi", bukan sebagai "pribadi yang luhur".

Bagian IV: Penjara Persepsi Immanuel Kant

Ketegangan ini membawa kita pada pertanyaan puncak: Bisakah kita benar-benar mengetahui realitas yang sejati?

Immanuel Kant, filsafat Jerman, memberikan jawaban yang meremukkan ego manusia. Ia memperkenalkan konsep Das Ding an Sich (Benda pada dirinya sendiri). Kant menyadarkan bahwa manusia terpenjara dalam "kacamata" persepsinya sendiri (Ruang dan Waktu).

Bayangkan sebuah pohon. Bagi kita, ia hijau. Bagi lebah, ia ultraviolet. Bagi kelelawar, ia adalah pantulan gema. Mana pohon yang asli? Tidak ada yang tahu. Kita hanya menangkap Fenomena (kulit luar), tapi tak pernah menyentuh Noumena (inti sari). Kita seperti orang buta yang meraba gajah; kita tahu teksturnya, tapi kita tak pernah memahami "ke-gajah-an" itu secara utuh.

Di titik inilah, arogansi intelektual harus runtuh. Sains, secanggih apa pun teknologinya, hanya bermain di kulit luar realitas. Ia tidak pernah bisa menembus jantung eksistensi.

Bagian V: Bayang-Bayang "Tuhan Silikon" (Etika AI)

Di abad ini, tantangan filosofis itu bermutasi menjadi bentuk baru: Kecerdasan Buatan (AI). AI adalah "anak haram" dari Rasionalisme (logika algoritma) dan Empirisme (Big Data).

Studi Kasus: Algoritma Tanpa Hati Nurani

Bayangkan AI medis yang bertugas membagi jatah ventilator saat pandemi.

  • Sisi Efisiensi: AI menghitung peluang hidup dengan akurat (Rasional) berdasarkan jutaan data historis (Empiris). Ia cepat dan objektif.
  • Sisi Gelap: Namun, AI tidak mengerti "kasih". Jika algoritmanya memutuskan bahwa lansia 80 tahun memiliki "nilai guna" rendah, AI akan mencabut ventilatornya tanpa rasa bersalah.

AI melakukan Thinking (Berpikir), tapi ia tidak memiliki Feeling (Rasa). Ia beroperasi di wilayah Fenomena (pola data), tapi buta terhadap Noumena (makna kemanusiaan). Jika kita membiarkan AI memimpin tanpa kendali iman, kita sedang membangun "Tuhan Silikon"—berhala yang serba tahu tapi tak punya belas kasih.

Bagian VI: Rekonsiliasi Agung (Ex Ipso, Per Ipsum, In Ipso)

Ketika nalar membentur tembok batas Das Ding an Sich, dan ketika teknologi mengancam kemanusiaan, di sanalah Iman hadir bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai penggenapan.

Rumus kuno teologi Kristen merangkum harmoni ini dengan indah: Dari Allah, Oleh Allah, dan Untuk Allah.

1. DARI ALLAH (Ontologi Asal-Usul)
Sains bisa menjelaskan teori Big Bang, tapi sains membisu soal "Siapa yang menekan tombol ledaknya?". Iman menjawab bahwa alam semesta tidak hadir karena kebetulan, melainkan karena Kehendak Sang Causa Prima.

2. OLEH ALLAH (Epistemologi Sains)
Inilah wilayah kerja ilmuwan. Hukum gravitasi, fotosintesis, dan DNA adalah "bahasa pemrograman" Tuhan. Ketika ilmuwan meneliti alam, mereka sejatinya sedang membaca jejak tangan Tuhan ("Oleh"). Sains adalah ibadah akal budi untuk mengagumi keteraturan ciptaan-Nya.

3. UNTUK ALLAH (Aksiologi Tujuan)
Untuk apa kita pintar? Untuk apa AI diciptakan? Sains tak punya jawaban. Iman menjawab: Segala pengetahuan ini harus dikembalikan "Untuk" kemuliaan-Nya lewat pelayanan kemanusiaan (Diakonia) dan kesaksian (Marturia). Ilmu tanpa pengabdian adalah kesia-siaan.

Epilog: Menjadi Ilmuwan yang Bersujud

Ketegangan antara Beriman dan Berpikir adalah sebuah anugerah. Tanpa sains, iman kita menjadi buta, rentan ditipu takhayul, dan tidak relevan dengan zaman. Tanpa iman, sains kita menjadi monster dingin yang tega menggusur rakyat demi statistik atau memanipulasi genetik tanpa etika.

Kita membutuhkan generasi baru. Generasi yang Empiris saat melihat fakta penderitaan rakyat, Rasionalis saat merancang solusi yang tepat guna, namun tetap Religius—yang sadar bahwa di balik setiap atom yang berputar dan setiap kebijakan yang dibuat, ada pertanggungjawaban abadi kepada Sang Pemilik Semesta.

Berpikir adalah cara kita menghormati akal pemberian Tuhan. Beriman adalah cara kita mengakui bahwa akal itu memiliki batas. Di tapal batas itulah, kebijaksanaan sejati bermula.

© 2025 Ditulis sebagai Refleksi Kuliah Filsafat Ilmu & Teologi.

Posting Komentar