rjgMtIfGYu4OB4QkmjHAeAZy7ixF2fuByIYhJHQr

Kapan Dibukukan?

Mentalitas Kerbau
"Wah, tulisannya bagus-bagus. Kapan dibukukan?"

Halo, teman-teman pembaca.

Saya yakin, banyak rekan blogger yang mungkin merasakan hal yang sama dengan saya. Kita sedang asyik-asyiknya menulis, konsisten menerbitkan artikel di blog, menikmati proses berbagi pikiran, lalu... datanglah satu pertanyaan "standar":

"Wah, tulisannya bagus-bagus. Kapan dibukukan?"

Maksudnya mungkin baik, mungkin sebuah pujian. Tapi jujur, alih-alih senang, saya sering kali merasa sedikit jengkel.

Pertanyaan itu membuat saya berpikir keras. Kenapa, ya? Kenapa seolah-olah blog belum cukup? Kenapa "buku" selalu menjadi standar tertinggi?

Ini yang ada di pikiran saya setiap kali mendengar pertanyaan itu.

1. Emang Kalau Sudah Bikin Buku Jadi "Wah"?

Ini anggapan pertama yang ingin saya gugat. Sepertinya masih ada pola pikir lama yang menganggap buku fisik adalah puncak tertinggi, satu-satunya validasi "keseriusan" seorang penulis.

Apakah sebuah karya otomatis jadi "wah" hanya karena sudah tercetak dan punya ISBN?

Di era digital ini, saya rasa tidak lagi. Ada banyak buku yang dicetak, namun tidak dibaca siapa-siapa. Sebaliknya, ada banyak artikel blog yang dibaca jutaan orang, dibagikan ribuan kali, dan benar-benar memberi dampak atau mengubah cara pandang pembacanya.

Bagi saya, blog bukanlah "draf" atau "latihan" untuk sebuah buku. Blog adalah karya final itu sendiri. Ini adalah medium yang saya pilih.

2. Kenapa Semua Harus Diukur dari Buku?

Kesalahan terbesar adalah membandingkan apel dan jeruk. Blog dan buku adalah dua medium yang sama sekali berbeda, dengan keunggulannya masing-masing.

Jika ada yang belum sadar, inilah kekuatan sebuah blog yang tidak dimiliki buku:

  • Aksesibilitas: Tulisan saya bisa dibaca siapa saja, di mana saja, kapan saja, secara gratis.
  • Interaksi: Ini bagian favorit saya. Kita bisa langsung berdialog. Anda bisa meninggalkan komentar, saya bisa membalasnya. Terjadi diskusi. Buku adalah komunikasi satu arah.
  • Aktualitas: Saya bisa menulis ide yang saya dapat pagi ini dan mempublikasikannya siang ini juga. Proses penerbitan buku butuh waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan, yang membuat sebuah gagasan bisa basi.
  • Portofolio Dinamis: Blog saya adalah portofolio hidup yang terus tumbuh dan menunjukkan konsistensi saya.

Mengukur kesuksesan blog dengan "kapan jadi buku" itu sama seperti bertanya kepada pelukis, "Lukisannya bagus, kapan dibuat jadi patung?" Ya, berbeda.

3. Mitos "Menghasilkan" dari Buku

Lalu, ada yang bilang, "Sayang lho, kalau dibukukan kan bisa menghasilkan."

Ini adalah ironi terbesar. Seringkali, orang yang menyarankan ini justru tidak tahu realitas industri penerbitan. Kecuali Anda adalah penulis superstar, royalti dari buku itu tidak seberapa.

Jujur saja, jika kita bicara soal "menghasilkan", seorang blogger aktif dengan pembaca setia punya potensi penghasilan yang jauh lebih stabil dan besar. Entah itu dari AdSense, sponsored post, affiliate marketing, atau menjual produk digitalnya sendiri.

Jadi, argumen "biar menghasilkan" itu seringkali tidak valid.

4. Saya Menulis Cuma Hobi!

Dan inilah alasan utama saya, yang mungkin mewakili perasaan banyak blogger lain.

Saya menulis di sini bukan karena mengejar validasi. Saya tidak sedang membangun karier untuk jadi "penulis buku".

Saya menulis karena saya suka prosesnya. Saya menikmati proses menuangkan pikiran, merangkai kata, dan berbagi cerita. Titik.

Ketika seseorang melakukan sesuatu sebagai hobi, tujuannya adalah proses, bukan produk. Kebahagiaan saya ada pada saat saya menulis, bukan pada apa hasil akhirnya (apalagi jika hasil akhir itu harus berupa buku fisik).


Jadi, lain kali jika Anda bertemu seorang blogger, podcaster, atau YouTuber yang karyanya Anda sukai, alih-alih bertanya "kapan dibukukan?" atau "kapan masuk TV?", cobalah ganti dengan:

  • "Saya selalu tunggu tulisan terbaru Anda."
  • "Artikel Anda yang tentang [topik] itu mengubah cara pandang saya."
  • "Terima kasih ya, sudah konsisten berbagi."

Percayalah, apresiasi seperti itu jauh lebih berarti.

Dunia ini butuh lebih banyak orang yang tulus berkarya karena hobi. Mari kita hargai medium yang mereka pilih, tanpa harus membandingkannya dengan standar lama.

Kalau teman-teman blogger lain, pernah merasakan hal yang sama? Biasanya kalian jawab apa kalau ditanya "kapan dibukukan?" Yuk, diskusi di kolom komentar!

Posting Komentar