Microsoft Edu Summit 2019

Generasi digital native—milenial dan seterusnya—memang sudah punya dunia mereka sendiri. Dunia yang bergerak cepat, penuh warna, dan penuh interaksi instan. Mereka hidup dalam ekosistem media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform belajar daring yang bukan hanya jadi alat, tapi sudah menjadi bagian dari pola hidup sehari-hari.

Sementara itu, para pemikir tua atau paruh baya sering kali masih memandang dunia baru ini dengan rasa khawatir sekaligus penasaran. Mereka memberi nasihat, wanti-wanti, bahkan kritik, tapi ironisnya… banyak di antara mereka belum pernah benar-benar menggunakan atau merasakan sensasi dunia tersebut. Produk-produk seperti Instagram Stories, perang stiker di LINE atau WhatsApp, atau platform LMS kekinian seperti Moodle, terasa asing di tangan mereka. Paling banter, aktivitas digital mereka berhenti di Facebook atau membaca koran versi daring—itu pun dengan gaya komunikasi yang lebih mirip ceramah di aula desa.

Hasilnya, dialog lintas generasi ini sering terasa seperti berbicara dengan kaca film. Anak-anak muda bisa melihat generasi sebelumnya, tapi dengan sedikit kegelapan—tidak sepenuhnya jelas. Sementara generasi sebelumnya sama sekali tidak bisa menembus pandangan ke dalam, tak mampu melihat kedalaman interaksi generasi baru. Yang ada malah seperti orang bercermin di kaca film: yang terlihat hanyalah bayangan diri sendiri. Narsis, merasa mengerti, padahal hanya sedang berbicara pada pantulan yang terbatas.

Di sisi lain, generasi muda yang “di dalam ruangan” justru asyik dengan dunianya sendiri. Mereka bisa melihat kelakuan generasi lama dari balik kaca film itu, terkadang tertawa, terkadang cuek, dan sering kali tidak merasa perlu untuk membalas tatapan. Bagi mereka, tingkah itu hanya bagian dari hiburan yang lewat di pinggiran layar hidup mereka.

Refleksi ini saya tulis setelah mengikuti Microsoft Edu Summit 2019 di Jakarta—acara yang membuat saya sadar bahwa jarak antar generasi di era digital ini bukan hanya soal umur, tapi juga soal siapa yang mau benar-benar masuk dan mencoba memahami dunia yang lain, bukan sekadar menatapnya dari luar.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email