Saya Advent, jadi otomatis bukan pemakan daging anjing, babi, dan hewan-hewan lain yang di daftar larangan. Sekali dalam hidup, waktu SD, saya pernah nyobain daging anjing gara-gara ikut-ikutan teman kampung yang beli di warungnya Lek Pino, Matesih. Baru kunyah sebentar, lidah langsung kirim pesan ke otak: “Bro, ini bukan dunia kita.” Akhirnya berhenti di gigitan pertama.
Di Indonesia, ada daerah-daerah yang menganggap daging anjing itu biasa saja—Batak, sebagian Jawa seperti Solo dan Jogja, sampai Minahasa di Sulawesi Utara. Buat mereka, ini protein, sama seperti orang makan ayam atau sapi. Tapi di sisi lain, para dog lovers merasa marah, jijik, atau tersinggung. Alasannya jelas: anjing itu sahabat, penjaga rumah, bahkan anggota keluarga. Sama kayak kalau ada yang ngajak makan adik kandung sendiri—nggak masuk di logika mereka.
Tapi lucunya, kalau kita ganti hewan lain, cerita bisa kebalik. Pecinta ayam akan ngamuk kalau lihat ayam kesayangannya jadi gulai. Pecinta kucing pasti meledak emosinya kalau ada yang masak kucing (walaupun di beberapa tempat itu nyata). Bahkan ada juga yang pelihara babi seperti pelihara anjing—dikasih nama, diajak jalan-jalan, disayang kayak anak sendiri. Nah, di titik ini mulai menarik: banyak dog lovers yang nggak masalah makan babi, padahal konsep “hewan kesayangan” itu sama persis bagi orang lain. Kalau logikanya soal ikatan emosional, harusnya berlaku merata dong?
Kesimpulannya? Selera makan itu mirip playlist lagu di Spotify—semuanya hasil campuran budaya, kebiasaan, dan selera pribadi. Jadi kalau ada yang makan daging anjing, itu urusan dia dan menunya. Kalau saya? Tetap nggak ikut makan, tapi juga nggak jadi polisi lidah. Hidup ini udah ribet, masa iya kita mau nambah ribet cuma gara-gara debat menu makan siang?