Kerendahan Hati di Era Digital

Dulu, orang bilang: “Diam adalah emas.” Pepatah itu dulu dianggap nasihat bijak—mengajarkan bahwa menahan diri untuk tidak bicara sembarangan bisa bernilai tinggi. Sekarang, di era media sosial, mungkin ada versi baru: “Tidak posting adalah bijak.”

Tentu saja, makna “diam” ini tidak pernah seragam. Bahkan dulu pun ada yang berkata: “Adakalanya diam adalah emas, tak jarang ia cuma kuning biasa, kadang pula ia adalah kotoran.” Artinya, diam tidak selalu mulia—kadang hanya karena malas, takut, atau memang tidak tahu apa-apa. Sama seperti sekarang, “tidak posting” bisa berarti banyak hal: mungkin memang bijak, mungkin cuek, mungkin sibuk kerja, mungkin sedang malas buka media sosial, atau… sedang sibuk kampanye pakai akun lain.

Menahan diri untuk tidak berkomentar “halah” di bawah postingan orang lain—meski kita menilainya naif, dangkal, lebay, penuh pencitraan, atau bahkan kemunafikan—adalah salah satu bentuk kerendahan hati dan pengendalian diri di era digital. Sebab di dunia yang semua orang bisa bicara kapan saja, memilih untuk diam itu kadang jauh lebih sulit daripada mengetik komentar pedas.

Dan yang sering kita lupa, kita tidak pernah tahu berapa banyak orang yang melakukan hal yang sama untuk postingan kita. Berapa banyak yang menahan diri untuk tidak menulis “halah” saat melihat foto liburan kita, caption bijak kita, atau postingan “humble brag” yang kita kira cerdas. Jadi, sebelum kita merasa paling benar menahan diri, mungkin ada baiknya kita sadar—diam dan tidak posting itu bukan hanya soal kita menjaga perasaan orang lain, tapi juga memberi ruang untuk orang lain menjaga perasaan kita.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email