Di desaku, orang kaya biasanya terbagi menjadi dua golongan besar: pertama, yang kaya karena warisan; kedua, yang kaya karena usaha ayam potong. Yang pertama jelas enak—tidak perlu pusing memulai dari nol, tinggal melanjutkan peninggalan orang tua, entah itu sawah luas, rumah besar, atau tabungan di bank. Yang kedua, meski terlihat sederhana, justru punya cerita perjuangan yang panjang dan unik.
Usaha ayam potong di desa itu tidak bisa dianggap remeh. Selain modal untuk membeli ayam dalam jumlah banyak, dibutuhkan juga pengetahuan soal pakan, kesehatan ayam, dan waktu panen yang tepat. Tapi yang paling krusial adalah urusan pembuangan sisa pemotongan—usus, bulu, dan bagian lain yang tidak dipakai. Bau dari limbah ini bisa jadi masalah besar kalau tidak diurus dengan baik.
Makanya, orang yang sukses di usaha ayam potong biasanya punya lahan khusus yang jauh dari perkampungan. Tempat ini jadi area pembuangan limbah sekaligus pengolahan sederhana supaya tidak mencemari lingkungan. Kalau sampai dibuang sembarangan di pekarangan rumah atau langsung ke aliran kali, bisa dipastikan tetangga akan komplain. Bau menyengat, lalat berdatangan, dan akhirnya kenyamanan hidup bermasyarakat terganggu.
Jadi, meskipun kelihatannya cuma “jualan ayam”, sebenarnya ini bisnis yang butuh strategi dan kesadaran lingkungan. Mereka yang bisa mengelola dengan baik akan dihormati bukan hanya karena dompetnya tebal, tapi juga karena tahu cara menjaga hubungan baik dengan tetangga. Karena di desa, kekayaan bukan cuma soal harta, tapi juga soal bagaimana kita tetap diterima di tengah masyarakat.