Watak Warisan Purbakala

Ngomong depan A, semua kata manis keluar—senyum sumringah, tepuk bahu penuh persahabatan, dan pujian yang kedengarannya tulus. Tapi begitu A pergi, mulut langsung berubah jadi senjata, menembakkan semua gosip dan celaan ke telinga B.

Giliran ngobrol dengan B, skripnya diulang. Manis di depan, pahit di belakang. Dan lucunya, ketika A dan B akhirnya duduk bareng, mereka sepakat… untuk menjelek-jelekkan si C. Kalau si C hadir, ya tinggal cari si D, E, atau siapa saja yang bisa dijadikan korban berikutnya. Begitulah rantai makanan gosip bekerja: selalu ada mangsa, dan selalu ada predatornya.

Ini watak purbakala yang masih awet sampai sekarang. Bedanya, kalau zaman nenek moyang, “gosip” dipakai buat memperingatkan bahaya—misalnya, “Jangan ke hutan itu, banyak harimau.” Sekarang, gosip dipakai buat memperingatkan hal-hal yang bahkan nggak penting, seperti, “Jangan dekat-dekat dia, bajunya KW.”

Teknologi boleh maju, tapi sifat dasar manusia kadang tetap primitif. Bedanya cuma satu: dulu mereka pakai api unggun untuk berkumpul, sekarang pakai grup WhatsApp. Dan sama seperti api unggun, kalau terlalu dekat, siap-siap saja terbakar… apalagi kalau kamu jadi bahan bakarnya.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email