Pemimpin dunia saat ini rata-rata berusia 60–70-an tahun. Mereka tumbuh di era di mana suara sirene perang, berita konflik, dan cerita tentang “siapa melawan siapa” adalah bagian dari keseharian. Dari kecil, mereka sudah terbiasa melihat peta dunia sebagai papan catur, di mana wilayah dan kekuasaan menjadi bidak yang bisa direbut. Maka wajar saja, ketika mereka memimpin, naluri pertamanya adalah bernegosiasi dengan kekuatan senjata, bukan dengan obrolan damai.
Berbeda dengan anak-anak yang lahir di era internet. Dari kecil, sebagian besar dari mereka sudah terbiasa punya teman “ngegame” dari berbagai negara—teman satu tim bisa berasal dari Brasil, Jepang, atau Afrika Selatan. Kalau pun ada konflik, bentuknya hanya saling ledek di voice chat, dan besoknya mereka kembali bermain bersama. Batas negara tidak lagi jadi tembok besar, melainkan hanya garis tipis di peta server game.
Mungkin nanti, ketika generasi pra-internet sudah selesai masa baktinya dan lenyap dari panggung kekuasaan, kita akan melihat dunia yang lebih damai. Pemimpin masa depan mungkin tidak akan mengenang masa kecil dengan cerita perang, tapi dengan kisah “ngegame bareng” lintas negara. Mungkin… dunia akan lebih jarang meledak, kecuali karena server error. #Semoga