Tampaknya pasal 27 ayat 3 UU ITE dan pasal 28 ayat 2 UU ITE punya efek samping yang jarang dibahas di ruang publik: membungkam orang yang tadinya berani bicara. Dulu, lini masa penuh dengan diskusi serius, kritik tajam, dan analisis yang kadang lebih cerdas daripada talkshow politik di TV. Sekarang? Banyak yang memilih diam atau pura-pura sibuk membahas hal remeh-temeh, bukan karena tiba-tiba jadi apolitis, tapi karena sadar satu status salah tulis bisa berujung undangan “ngopi” di kantor polisi.
Ironisnya, aturan yang katanya dibuat untuk menjaga ketertiban ini malah membuat warganet lebih nyaman membicarakan gorengan, drama seleb, dan kelakuan kucing, ketimbang membahas kebijakan publik. Topik besar yang dulu memicu debat sengit kini tergeser oleh status receh yang aman dari pasal karet. Akhirnya, media sosial lebih ramai oleh candaan “selamat pagi” daripada gagasan untuk membenahi negeri.
Lucunya, sebagian penguasa mungkin senyum-senyum saja melihat ini. Publik yang terlalu banyak tertawa biasanya lupa untuk bertanya. Warganya sibuk berbagi meme, pejabatnya bebas berkarya tanpa terlalu banyak sorotan. Semua terlihat tenang… setidaknya di permukaan.
Ya sudah, kalau memang begini jalannya, mari kita ikuti arus. Tidak apa-apa receh, asalkan menghibur. Tapi jangan lupa—di balik tawa itu, kita menyimpan catatan. Karena sejarah mengajarkan, rakyat yang lama tertawa kadang bisa tiba-tiba sangat serius.