Hal yang paling menyedihkan ketika BBM naik sebenarnya bukan sekadar harga per liternya. Angka itu mungkin cuma naik seribu-dua ribu, tapi efeknya? Seperti lempar batu ke kolam, riaknya kemana-mana. Harga kebutuhan pokok langsung naik serentak, ongkos transportasi ikut melonjak, dan semua orang yang dagang mendadak punya alasan baru untuk menaikkan harga. Lucunya, nanti kalau BBM turun… harga-harga jarang sekali ikut turun.
Untunglah bagi mereka yang tinggal di dusun dan masih punya lahan sisa atau tanah warisan. Ketika harga cabai merah mendekati harga daging sapi, mereka tinggal metik dari kebun. Saat bawang merah naik seperti emas, mereka tinggal ambil dari lumbung. Memang tidak menghapus semua masalah, tapi setidaknya tidak setiap kali ke pasar harus siap sakit hati.
Tapi untuk mereka yang tinggal di kota, apalagi yang hidupnya sudah pas-pasan, kenaikan BBM terasa seperti hukuman. Gaji tetap segitu-segitu saja, tapi biaya hidup melesat tanpa rem. Sialnya lagi, pemerintah biasanya bilang ini demi "penyesuaian harga" atau "menyelamatkan anggaran negara". Entah kenapa, yang diselamatkan selalu negara, tapi rakyatnya dibiarkan berenang sendirian di tengah ombak harga yang makin tinggi.
Jadi, jangan heran kalau setiap kali BBM naik, yang bikin menderita bukan cuma harganya, tapi "ekor" panjangnya. Dan entah kenapa, ekor itu hampir selalu mencambuk rakyat, sementara yang memegang cambuknya tetap bisa duduk manis di kursi empuk sambil bilang, "Ini semua demi kebaikan bersama."