Tidak Sadar Mengkritik

Si A: mengkritik orang beragama tertentu, dengan nada seolah hidupnya sudah paling benar. Ia menyoroti perilaku orang lain, memeriksa dari kejauhan, dan merasa punya cukup alasan untuk memberi penilaian. Dalam pikirannya, kritik itu sah karena ia merasa ada yang perlu diluruskan.

Si B: tidak terima dengan cara Si A. Lalu mengkritik balik Si A, dengan nada yang… anehnya, juga seolah hidupnya sudah paling benar. Ia melihat perilaku Si A sebagai kesalahan, lalu melakukan hal yang sama—memberi penilaian. Dalam pikirannya, kritik itu sah karena ia merasa sedang membela pihak yang dikritik.

Saya: melihat Si A dan Si B saling kritik, lalu ikut mengkritik keduanya, dengan nada yang—ya, persis sama—seolah hidup saya sendiri sudah paling benar. Saya merasa kedua pihak keliru, dan saya mencoba jadi "penengah" dengan cara yang ironisnya, sama saja: mengkritik.

Kalau dipikir-pikir, dalam konteks mengkritik, apa yang dilakukan Si A, Si B, dan saya sebenarnya sama saja. Kritik timbul dari adanya keresahan pribadi, entah keresahan itu bersumber dari nilai moral, rasa keadilan, atau sekadar tidak setuju dengan sikap orang lain. Bedanya hanya pada siapa yang menjadi target kritik, bukan pada sifat dasarnya.

Poin yang bisa diambil dari ilustrasi ini adalah: kadang memang kita tidak sadar sedang menjadi orang yang tidak kita suka. Kita membenci orang yang suka menghakimi, tapi tanpa sadar kita melakukan hal yang sama. Kita merasa "hanya memberi masukan", padahal dari luar, nadanya tak jauh berbeda dari orang yang kita kritik.

Nb: Dalam konteks tertentu, batas antara mengkritik dan menghakimi itu sangat tipis. Kadang yang membedakan hanyalah niat di hati dan pilihan kata, tapi dari luar, keduanya bisa terdengar persis sama.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email