Apa musuh iman? Keraguan. Iman menuntut keyakinan yang utuh—percaya tanpa bertanya, menerima tanpa harus melihat bukti. Keraguan dipandang sebagai celah yang bisa meruntuhkan keyakinan itu. Sekali ia masuk, iman dianggap mulai goyah.
Apa tanda-tanda orang berpikir? Keraguan. Keraguan adalah pintu pertama menuju pengetahuan. Ia mendorong kita bertanya, memeriksa, menguji. Orang yang berpikir tidak puas hanya dengan jawaban yang manis di telinga; ia ingin tahu apakah jawaban itu benar, atau sekadar nyaman untuk dipercaya.
Maka, jika dua hal ini benar, kita dihadapkan pada kesimpulan yang menggelitik—bahkan mengganggu: iman hidup dengan menutup pintu bagi keraguan, sementara pikiran tumbuh subur justru karena membukanya lebar-lebar. Di titik ini, iman dan berpikir seperti dua kutub yang saling tarik menarik. Yang satu berkata "percaya dulu, baru mengerti", yang lain berkata "mengerti dulu, baru percaya".
Dan di sinilah kita terjebak dalam paradoks: jika kita terlalu beriman, kita mungkin berhenti berpikir; jika kita terlalu berpikir, kita mungkin sulit beriman. Mungkin jawabannya bukan memilih salah satu, tapi menerima bahwa keduanya akan selalu berada dalam ketegangan abadi—dan kita harus belajar berjalan di tali tipis di antara keduanya.