Programmer & Trinitas

Sebagai programmer, saya terbiasa hidup dalam dunia logika. Satu ya satu, tiga ya tiga. Semua harus bisa dijelaskan dengan baris kode, diprediksi dengan algoritma, atau ditelusuri lewat debug. Tidak ada ruang untuk sesuatu yang membingungkan.

Tapi ketika membaca Alkitab dan menemukan konsep Trinitas—satu Allah dalam tiga Pribadi: Bapa, Anak, dan Roh Kudus—pikiran saya seperti crash. Bagaimana mungkin satu bisa juga tiga? Bagaimana tiga Pribadi tetap satu esensi? Logika saya memberontak.


Sebagai programmer, naluri saya adalah mencoba memodelkannya dalam kode.

class Allah:
    def __init__(self, nama):
        self.nama = nama

bapa = Allah("Bapa")
anak = Allah("Yesus")
roh = Allah("Roh Kudus")

tritunggal = [bapa, anak, roh]

Dari sisi kode, mereka satu class, tapi tetap tiga objek. Itu artinya tiga Allah. Jelas tidak sesuai dengan iman Kristen.

Saya coba pendekatan lain: satu objek, tiga fungsi.

class Allah:
    def mencipta(self): pass   # Bapa
    def menebus(self): pass    # Anak
    def menguduskan(self): pass # Roh Kudus

tuhan = Allah()

Struktur ini tampak rapi, tapi masalahnya: itu hanya peran berbeda dari satu Pribadi. Mirip aktor yang ganti kostum. Itu bukan Trinitas, melainkan moda yang bergantian. Padahal Alkitab mengajarkan: Bapa, Anak, dan Roh Kudus nyata sebagai Pribadi yang hidup, sekaligus satu Allah yang kekal.

Akhirnya saya coba analogi lain...

class EsensiIlahi:
    def sifat_ilahi(self):
        return "Kudus, Kekal, Mahakuasa, Mahakasih"

class PribadiAllah:
    def __init__(self, nama, peran):
        self.nama = nama
        self.peran = peran
        self.esensi = EsensiIlahi()

Dalam analogi ini, ketiga Pribadi memiliki esensi yang sama, namun berbeda dalam nama dan peran. Tapi saya sadar: tetap tidak sempurna. Allah tidak bisa dimodelkan penuh dengan kode.


Di titik ini saya sadar: tidak ada kode, analogi, atau pola desain yang mampu menjelaskan Allah sepenuhnya. Allah bukan sistem yang bisa kita diagramkan. Kalau Dia bisa dipetakan dengan UML, berarti Dia tidak lebih besar dari logika manusia.

Namun, keindahannya justru di sini. Allah menyatakan diri-Nya sebagai Bapa yang mencipta, Anak yang menebus, dan Roh Kudus yang menyertai. Bukan bergantian, tetapi kekal dan serentak. Satu esensi, tiga Pribadi, satu Allah.


Saya berhenti mencari analogi sempurna, lalu mulai mengingat pengalaman pribadi. Dan di situlah saya menemukan bukti bahwa Trinitas bukan teori abstrak, tapi realitas yang saya alami setiap hari.

  • Bapa — Saya melihat kasih-Nya ketika masa kecil keluarga saya kesulitan ekonomi. Ayah saya sering bingung bagaimana membayar biaya sekolah. Tapi selalu saja ada jalan: beasiswa, bantuan dari jemaat, atau bahkan tetangga yang menolong. Kadang kami makan dengan seadanya, hanya lauk sederhana yang ada di meja. Bahkan ada saat di mana bantuan datang dari orang yang sama sekali tidak kami kenal. Itu bukan kebetulan. Saya percaya itu karya Bapa yang memelihara.

    "...tidak pernah aku melihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti."
    (Mazmur 37:25)

  • Anak (Yesus) — Saya merasakan penebusan-Nya ketika merasa hancur oleh dosa. Ada masa saya terlalu tenggelam dalam rasa bersalah, seperti error yang tidak bisa diperbaiki. Tapi Yesus datang, memberi pengampunan, dan membuat saya “compile ulang” hidup saya. Saya disadarkan bahwa kasih karunia lebih besar daripada error terburuk saya.
  • Roh Kudus — Saya mengalami penyertaan-Nya saat menghadapi keputusan besar: pindah pekerjaan, menikah, bahkan memilih pelayanan. Kadang tidak ada jawaban instan, tapi ada damai sejahtera yang menuntun hati. Seperti notifikasi halus di layar, Roh Kudus menegur, mengingatkan, dan menguatkan.

Sejak itu saya menyadari, Trinitas bukan soal matematika yang sulit dimengerti, tapi soal relasi yang bisa dihidupi.


Iman bukan berarti membuang logika. Iman adalah menyadari batas logika. Sama seperti komputer punya limit memori, pikiran manusia pun punya limit untuk memahami Sang Pencipta.

Dan justru di situlah iman bekerja. Saya percaya bukan karena saya bisa mem-compile Tuhan dalam kode, tapi karena Allah sendiri yang menyatakan diri-Nya melalui Firman dan pengalaman hidup.

"Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu semua."
— 2 Korintus 13:13


Sekarang, saya tidak lagi frustrasi karena Trinitas sulit dipahami. Justru saya bersyukur, karena Allah yang saya sembah jauh lebih besar daripada logika saya. Jika saya bisa menjelaskan Dia sepenuhnya, maka Dia bukan Allah.

Iman saya bukan berdiri di atas algoritma. Logika saya belajar tunduk di hadapan Pribadi yang tak bisa saya debug, tapi bisa saya kenal. Dan di situlah hati saya tenang. Karena saya mengenal Allah yang nyata, meski tak bisa dijelaskan sepenuhnya. Bukan logika yang menopang iman saya, melainkan Allah sendiri yang hidup, hadir, dan layak disembah. Bagi saya, ini bukan lagi soal teori, tapi relasi. Saya mengenal Dia, dan itu jauh lebih berharga daripada semua penjelasan.

Komentar

Memuat komentar…
Tidak bisa memuat komentar.
Tampilkan lebih banyak
Artikel Terkait
Memuat artikel…
Tidak ada artikel terkait.
Terima pembaruan lewat email