rjgMtIfGYu4OB4QkmjHAeAZy7ixF2fuByIYhJHQr

Ketika Saya Dinilai Buruk

Ketika Saya Dinilai Buruk
Ketika Saya Dinilai Buruk

Dalam perjalanan hidup, kita akan berjumpa dengan penilaian orang lain: ada yang memuji, ada yang mencela. Kadang, meski sudah berusaha benar, kita tetap dinilai buruk. Lalu muncul tanya di hati: ketika saya dinilai buruk, apakah saya harus merekam dan mengumbar semua kebaikan saya? Pertanyaan ini wajar, karena naluri manusia ingin membuktikan diri. Namun iman mengajar kita melihat lebih dalam: kepada siapa sebenarnya kita ingin berkenan—kepada manusia atau kepada Tuhan?


1. Kecenderungan Manusia: Ingin Membela Diri

Secara alami, kita terdorong menumpuk bukti: "Aku menolong ini, memberi itu, melayani di sana." Dalam momen tertentu, klarifikasi memang perlu; tetapi menjadikan daftar kebaikan sebagai tameng identitas justru melelahkan. Rasul Paulus memberi bingkai yang menyejukkan: penilaian manusia bukan hakim terakhir.

"Aku sangat sedikit peduli, entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malah diriku sendiri pun tidak kuhakimi. Sebab aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itu aku dibenarkan. Yang menghakimi aku ialah Tuhan."
(1 Korintus 4:3–4)

Di sini kita belajar membedakan antara memberi penjelasan seperlunya dan mencari pembenaran tanpa henti. Yang pertama menyembuhkan relasi; yang kedua menjerat hati dalam kebutuhan validasi. Ketika identitas kita bertumpu pada Kristus, kita lebih tenang menghadapi opini yang berubah-ubah.


2. Kebaikan Bukan untuk Dipamerkan

Yesus menekankan arah hati saat berbuat baik: lakukan karena mengasihi Bapa, bukan demi sorotan. Ia mengajar kita melayani dalam sunyi, yakin bahwa Allah melihat yang tersembunyi.

"Apabila engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu, supaya sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi; maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
(Matius 6:3–4)

Namun, Yesus juga tidak melarang kebaikan terlihat—selama tujuannya benar: bukan memoles citra, tetapi memuliakan Bapa.

"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga."
(Matius 5:16)

Maka ukurannya menjadi jelas: motivasi hati. Apakah aku ingin dikenal sebagai orang baik, atau ingin Bapa dikenal sebagai Allah yang baik?


3. Fokus pada Hati, Bukan Citra

Di hadapan manusia, "narasi" sering lebih keras daripada fakta. Tetapi Tuhan menembus sampai kedalaman motivasi. Ketika dinilai buruk, kita boleh tertunduk—bukan kalah, melainkan memilih diperiksa oleh Dia yang mengenal hati.

"Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati."
(1 Samuel 16:7)

Jika ada salah, koreksi; jika tidak, tetaplah berjalan lurus. Mazmur meneguhkan: serahkan jalanmu kepada Tuhan, Dia sendiri yang memunculkan kebenaranmu pada waktunya.

"Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak. Ia akan memunculkan kebenaranmu seperti terang, dan hakmu seperti siang."
(Mazmur 37:5–6)

4. Teladan Yesus: Diam, Taat, dan Percaya

Yesus tahu rasanya dinilai tidak adil. Ia dituduh, dicemooh, disalahpahami. Namun Ia tidak membuat "portofolio kebaikan" untuk menghapus stigma. Ketika harus menjelaskan, Ia bicara; ketika waktunya diam, Ia memilih taat. Ada hikmat rohani di sini—mengetahui kapan berbicara dan kapan berdiam (lih. Pengkhotbah 3:7).

"Ketika Ia dituduh oleh imam-imam kepala dan tua-tua, Ia tidak menjawab apa pun."
(Matius 27:12–14)
"Ia dianiaya, tetapi Ia membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulut-Nya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian."
(Yesaya 53:7)
"Ketika Ia dicaci maki, Ia tidak membalas dengan mencaci maki; ketika Ia menderita, Ia tidak mengancam, tetapi Ia menyerahkannya kepada Dia, yang menghakimi dengan adil."
(1 Petrus 2:23)

Meneladani Yesus berarti belajar mengandalkan Bapa lebih daripada opini publik.


5. Bolehkah Merekam Kebaikan?

Boleh — asal arahnya tepat. Catatan kebaikan bisa menjadi disiplin rohani (agar kita ingat penyertaan Tuhan) dan kesaksian (untuk meneguhkan sesama). Paulus kadang menyebut pengorbanannya bukan untuk pamer, tetapi agar jemaat kuat (lih. 2 Korintus 11:23–28). Di saat lain, hikmat menasihati:

"Biarlah orang lain yang memuji engkau, dan bukan mulutmu sendiri."
(Amsal 27:2)

6. Tuhan Tidak Lupa Kebaikanmu

Ketika dunia keliru menilai, jangan biarkan kepahitan mengeraskan hati. Firman menegaskan: Allah melihat, Allah ingat, Allah adil.

"Sebab Allah tidak lalai memperhatikan pekerjaanmu dan kasihmu yang kamu tunjukkan terhadap nama-Nya oleh pelayananmu kepada orang-orang kudus…"
(Ibrani 6:10)

Karena itu, teruslah melangkah dalam damai. Latih pikiran memikirkan yang benar dan luhur (Filipi 4:8), dan belajarlah tenang dalam kesetiaan.


Perlukah "merekam kebaikan" ketika dinilai buruk? Tidak sebagai alat pembelaan diri. Jika pun mencatat, biarlah itu menjadi latihan syukur dan bahan kesaksian, bukan pencarian validasi. Pada akhirnya, Tuhan yang menilai dengan adil dan menampakkan kebenaran pada waktunya. Tugas kita sederhana namun kuat: jaga hati, tetap berbuat baik, dan memuliakan Bapa dalam segala hal.

Posting Komentar