rjgMtIfGYu4OB4QkmjHAeAZy7ixF2fuByIYhJHQr

Penyaliban Yesus: Rencana Bapa atau Rencana Iblis?

Penyaliban Yesus: Rencana Bapa atau Rencana Iblis?
Penyaliban Yesus: Rencana Bapa atau Rencana Iblis?

Jumat Agung. Sebuah nama yang penuh paradoks. Bagi dunia, hari itu adalah simbol kekejaman, pengkhianatan, dan kekalahan—seorang pria baik dieksekusi dengan cara paling brutal. Namun bagi iman Kristen, hari yang sama dirayakan sebagai puncak kemenangan dan kasih Allah. Bagaimana mungkin sebuah tragedi tergelap dalam sejarah manusia justru menjadi momen paling mulia dalam rencana ilahi?

Pertanyaan ini melahirkan dilema yang lebih dalam: Siapa sebenarnya sutradara di balik peristiwa penyaliban? Apakah ini murni Rencana Agung Bapa untuk penebusan, yang telah ditetapkan sejak kekekalan? Ataukah ini adalah keberhasilan konspirasi Iblis yang menggunakan kejahatan manusia untuk membungkam Anak Allah?

Mari kita menempuh sebuah perjalanan pemikiran untuk membedah misteri ini, sebuah perjalanan yang akan membawa kita dari sejarah Golgota hingga ke pertanyaan tentang takdir kita sendiri.


1. Dilema Awal - Dua Arus yang Bertemu di Golgota

Sejarah penyaliban tampak seperti muara tempat bertemunya dua arus yang sangat berlawanan: arus rencana ilahi dan arus kejahatan manusia.

Arus Rencana Ilahi yang Tak Terbendung

Alkitab secara konsisten menggambarkan penyaliban bukan sebagai kecelakaan, melainkan sebagai penggenapan.

Nubuatan Ratusan Tahun Sebelumnya: Jauh sebelum paku menembus tangan-Nya, penderitaan-Nya telah tertulis. Nabi Yesaya melukiskannya dengan sangat detail:

"Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan dia dengan kesakitan. Apabila ia menyerahkan dirinya sebagai korban penebus salah, ia akan melihat keturunannya, umurnya akan lanjut, dan kehendak TUHAN akan terlaksana olehnya."
- Yesaya 53:10

Ketetapan dalam Kekekalan: Perjanjian Baru menegaskan bahwa ini adalah rencana yang sudah ada sebelum dunia dijadikan. Yesus disebut sebagai:

"...Anak Domba yang telah disembelih sejak dunia dijadikan."
- Wahyu 13:8

Penegasan Para Rasul: Setelah kebangkitan, para rasul memahami peristiwa ini dengan jelas. Petrus, dalam khotbahnya yang mengguncang di hari Pentakosta, tidak ragu-ragu menyatakan:

"Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencana-Nya (foreknowledge), telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka."
- Kisah Para Rasul 2:23

Dari ayat-ayat ini, tampak jelas bahwa salib adalah puncak dari sebuah skenario ilahi yang agung untuk menyelamatkan umat manusia.

Arus Kejahatan Manusia dan Iblis yang Bergejolak

Namun, di sisi lain, Alkitab tidak menutupi realitas kejahatan yang menjadi motor penggerak peristiwa ini.

Inisiator Kegelapan: Iblis secara eksplisit disebut sebagai pemicu pengkhianatan yang memulai proses penangkapan Yesus.

"Dan Iblis telah membisikkan rencana ke dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Yesus."
- Yohanes 13:2

Motivasi Manusia yang Berdosa: Yesus sendiri mengidentifikasi sumber kebencian para lawan-Nya berasal dari sang pendusta.

"Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula..."
- Yohanes 8:44

Kebutaan Spiritual: Ironisnya, para pelaku kejahatan ini tidak menyadari bahwa mereka sedang menggenapi rencana Allah. Mereka bertindak dalam kebutaan rohani.

"Tidak ada dari penguasa dunia ini yang mengenalnya, sebab jika mereka memahaminya, mereka tidak akan menyalibkan Tuhan yang mulia."
- 1 Korintus 2:8

Di sinilah dilema itu terbentuk: Bagaimana mungkin sebuah peristiwa yang didalangi Iblis dan dieksekusi oleh manusia berdosa bisa disebut sebagai "Rencana Bapa"?


2. Eskalasi Pertanyaan - Dari Sejarah Golgota ke Takdir Pribadi

Mencoba mendamaikan dua arus ini membawa saya pada sebuah pertanyaan turunan yang jauh lebih personal dan menggelisahkan. Jika Tuhan begitu berdaulat hingga bisa menggunakan kejahatan untuk tujuan baik-Nya, bagaimana implikasinya pada hidup kita?

Jika benang takdir sebuah peristiwa besar seperti penyaliban sudah ditenun oleh Tuhan, bagaimana dengan benang takdir hidup kita masing-masing? Analogi ini membawa kita langsung ke jantung perdebatan teologis bersejarah: Predestinasi vs. Kehendak Bebas.

Pandangan Predestinasi (Calvinisme): Jika Allah telah menetapkan segalanya, maka logis untuk menyimpulkan bahwa Dia juga telah menentukan dari semula siapa yang akan diselamatkan (masuk surga) dan siapa yang tidak. Dasarnya ada pada ayat seperti:

"Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya..."
- Roma 8:29

Pandangan Kehendak Bebas (Arminianisme): Di sisi lain, Alkitab juga penuh dengan panggilan agar manusia memilih dan percaya, yang menyiratkan adanya kebebasan dan tanggung jawab.

"[Allah] menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat."
- 2 Petrus 3:9

Maka, kebingungan pun semakin dalam. Apakah kita aktor yang memainkan peran yang sudah dituliskan, ataukah kita penulis skenario hidup kita sendiri di hadapan Tuhan?


3. Titik Terang - Membedakan "Pengetahuan Awal" dan "Ketetapan Penyebab"

Di tengah kebingungan ini, sebuah pertanyaan alternatif muncul, sebuah sudut pandang yang mungkin bisa menjadi kunci: Bagaimana jika Bapa tidak merencanakan atau menyebabkan kejahatan itu, tetapi Dia, dalam kemahatahuan-Nya, sudah mengetahui bahwa semua itu akan terjadi?

Ini adalah perbedaan krusial antara Ketetapan Penyebab (Causative Decree) dan Pengetahuan Awal (Foreknowledge).

Allah, yang berada di luar dimensi waktu, tidak "menebak" masa depan. Dia melihatnya. Bagi-Nya, seluruh garis waktu sejarah adalah sebuah "sekarang" yang terbuka. Dalam Pengetahuan Awal ini, Dia melihat dengan pasti setiap pilihan yang akan dibuat oleh setiap individu.

Dia tahu Yudas akan memilih 30 keping perak. Dia tahu Pilatus akan memilih popularitas daripada kebenaran. Dia tahu kerumunan massa akan memilih membebaskan Barabas.

Pengetahuan-Nya akan pilihan-pilihan ini tidak memaksa mereka untuk melakukannya, sama seperti seorang sejarawan yang tahu persis isi sebuah naskah kuno tidak berarti dialah yang menulis naskah itu. Petrus sendiri mengisyaratkan hal ini ketika ia menulis kepada orang-orang percaya sebagai mereka yang:

"...dipilih sesuai dengan rencana (prognōsin/foreknowledge) Allah, Bapa kita..."
- 1 Petrus 1:2

Dengan lensa "Pengetahuan Awal" ini, gambaran menjadi lebih jernih. Rencana Bapa bukanlah untuk menciptakan kejahatan, melainkan untuk meresponsnya dengan cara yang paling agung. Rencana-Nya adalah: "Aku tahu kejahatan dan dosa akan membawa Anak-Ku ke kayu salib, dan Aku akan menggunakan momen tergelap itu untuk melepaskan terang keselamatan yang paling benderang bagi seluruh dunia."


4. Implikasi Teologis - Kedaulatan Cerdas dan Tanggung Jawab Mutlak

Memahami peran Pengetahuan Awal Allah membawa implikasi teologis yang mendalam dan memuaskan.

  1. Tanggung Jawab Manusia Ditegakkan: Pandangan ini membuat Yudas, Pilatus, dan semua yang terlibat tetap 100% bertanggung jawab. Mereka tidak bisa menyalahkan takdir. Yesus sendiri berkata tentang Yudas, "Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan!" (Matius 26:24). Penggenapan nubuatan tidak menghapus kesalahan pelaku.
  2. Kebaikan dan Keadilan Allah Terjaga: Allah tetap kudus dan tidak tercemar oleh dosa. Dia bukanlah dalang kejahatan. Alkitab menegaskan:
    "Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapapun."
    - Yakobus 1:13
  3. Kedaulatan Allah Dimuliakan: Ini menunjukkan tingkat kedaulatan yang jauh lebih cerdas dan mengagumkan. Bukan kedaulatan seorang tiran yang memaksa, melainkan kedaulatan seorang Seniman Agung yang bisa mengambil warna-warna paling gelap dari kanvas pilihan manusia dan melukis sebuah mahakarya penebusan. Ini adalah prinsip yang sama seperti yang diucapkan Yusuf kepada saudara-saudaranya:
    "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan..."
    - Kejadian 50:20

Kesimpulan

Perjalanan pemikiran ini membawa kita pada sebuah kesimpulan: Penyaliban Yesus adalah puncak di mana konspirasi Iblis dan kejahatan manusia—yang telah Allah ketahui sejak semula—bertemu dengan Rencana Penebusan Allah yang tak tergoyahkan. Allah tidak merancang dosanya, tetapi Dia merancang keselamatannya.

Meskipun misteri tentang bagaimana kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia berinteraksi tidak akan pernah sepenuhnya kita selami, kita dapat menemukan sandaran yang kokoh. Kita menyembah Allah yang begitu berdaulat sehingga Dia tidak perlu menjadi penyebab kejahatan untuk mengalahkannya; Dia justru mengalahkannya dengan membiarkannya melakukan yang terburuk, lalu mengubahnya menjadi kebaikan terbesar bagi kita semua.

Pada akhirnya, fokus kita bukanlah untuk memecahkan setiap teka-teki dalam pikiran Allah, melainkan untuk merespons dengan iman pada solusi yang telah Dia nyatakan di atas kayu salib.


Bagaimana menurut Anda? Apakah sudut pandang ini membantu? Mari lanjutkan diskusi di kolom komentar.

Posting Komentar