rjgMtIfGYu4OB4QkmjHAeAZy7ixF2fuByIYhJHQr

Sebuah Seni yang Hilang di Era AI

Tersesat di Internet: Sebuah Seni yang Hilang di Era AI
Tersesat di Internet: Sebuah Seni yang Hilang di Era AI

Setiap kali membuka laptop akhir-akhir ini, saya jadi teringat masa ketika "berselancar" di internet terasa seperti sebuah petualangan sejati. Saya bisa memulai pencarian tentang satu hal, lalu tanpa sadar sudah berada di sebuah forum antah berantah yang membahas hobi yang bahkan tidak pernah saya dengar sebelumnya. Tiga jam kemudian, mungkin saya tidak menemukan jawaban yang saya cari di awal, tapi saya justru pulang membawa "harta karun": sebuah komunitas baru, pengetahuan yang mendalam, atau sekadar perspektif yang tak ternilai.

Pengalaman ini—menemukan sesuatu yang berharga saat kita tidak mencarinya—adalah sebuah keajaiban yang saya suka sebut sebagai serendipitas digital.

Bagi saya, internet di masa itu terasa seperti kota metropolitan yang luas dengan ribuan gang-gang kecil yang unik. Ada blog-blog pribadi yang ditulis dengan tulus, forum-forum niche yang dikelola oleh para ahli amatir, dan situs-situs aneh yang eksis murni karena keinginan seseorang untuk berbagi. Dulu, saya merasa kita semua adalah penjelajah digital, bersenjatakan kata kunci sebagai kompas, menavigasi sebuah dunia yang terasa liar dan otentik.

Namun, sejujurnya, saya merasa lanskap digital ini telah berubah secara fundamental. Gang-gang kecil itu perlahan sepi, digantikan oleh jalan-jalan raya super cepat yang dikelola oleh beberapa perusahaan raksasa. Percakapan, menurut pengamatan saya, telah pindah dari forum terbuka ke dalam "taman berdinding" media sosial. Halaman pertama Google kini terasa sesak oleh konten yang dibuat bukan hanya untuk memberi informasi, tetapi untuk memenangkan algoritma.

Dan kini, menurut pandangan saya, kita berada di puncak pergeseran itu dengan hadirnya Kecerdasan Buatan (AI).

AI adalah manifestasi tertinggi dari efisiensi. Ia mengubah search engine yang dulu memberi saya peta, menjadi answer engine yang sekarang langsung mengantar saya ke tujuan.

Saya akui, tidak ada yang salah dengan efisiensi. AI menghemat waktu saya secara luar biasa. Namun, saya percaya ada harga yang harus kita bayar untuk kemudahan ini.

Dalam dorongannya untuk efisiensi, saya merasa AI tanpa sadar telah memotong proses penemuan. AI menghilangkan kebutuhan saya untuk membandingkan, untuk ragu, untuk tersesat, dan untuk kemudian menemukan jalan saya sendiri.

Rasanya, kita telah menukar peta harta karun yang penuh petualangan dengan GPS yang hanya mengenal satu rute tercepat.

Kekhawatiran terbesar saya adalah risiko homogenisasi informasi. Jawaban-jawaban yang "tidak populer", solusi out-of-the-box dari seorang teknisi amatir di forum kecil yang dulu sering saya temukan, atau kearifan dari sebuah komunitas online, kini berisiko terkubur selamanya, tidak pernah diangkat oleh AI yang memprioritaskan sumber-sumber arus utama.

Lantas, apakah ini akhir dari era eksplorasi digital? Saya pribadi berharap tidak. Saya percaya kita masih bisa melawan tren ini secara sadar.

Di tengah kemudahan yang ditawarkan AI, tugas kita sebagai pengguna internet justru menjadi lebih penting: menjadi kurator bagi rasa penasaran kita sendiri. Kita perlu secara sadar meluangkan waktu untuk "tersesat" agar tidak kehilangan seni penemuan yang otentik.

Mungkin sesekali, saya akan sengaja mengabaikan jawaban instan dari AI dan kembali menggali halaman kedua atau ketiga hasil pencarian. Mungkin saya perlu meluangkan waktu untuk bergabung dengan komunitas Discord atau Subreddit yang spesifik, hanya untuk merasakan kembali denyut percakapan yang otentik.

Internet telah memberi kita alat yang luar biasa efisien. Namun, jangan sampai alat itu membuat saya, dan kita semua, lupa indahnya menjadi seorang penjelajah. Karena bagi saya, jawaban terbaik bukanlah yang saya cari, melainkan yang saya temukan saat saya sedang asyik tersesat.

Posting Komentar