
Di layar laptopnya, barisan kode yang rapi adalah dunianya. Arga adalah seorang sarjana Teknik Informatika yang brilian. Baginya, dunia bekerja berdasarkan logika, algoritma, dan efisiensi. Iman dan hal-hal spiritual adalah kenangan masa kecil yang janggal, bukan sesuatu yang ia pikirkan dalam kesehariannya yang logis. Rencana hidupnya pun lurus dan jelas: melanjutkan studi ke jenjang S2 Magister Teknik Informatika (MTI)
.
Namun, beberapa minggu sebelum rencananya mantap, serangkaian "kebetulan" aneh mulai terjadi.
Semua berawal dari Alkitab. Sudah lama Arga mengidam-idamkan Alkitab Edisi Studi (AES) terbitan LAI yang harganya cukup mahal. Tiba-tiba, suatu pagi ia melihat notifikasi di Shopee: harga Alkitab itu turun drastis. Merasa ini adalah sebuah kesempatan langka, ia langsung membelinya. Beberapa hari kemudian, paket yang ditunggu-tunggu itu tiba. Dengan antusias ia membuka bungkusnya, memegang buku tebal itu dengan perasaan puas.
Namun, kebahagiaannya hanya sesaat. Saat ia mulai membuka-buka halamannya, ia menemukan ada beberapa bagian yang salah cetak. Halaman-halaman penting hilang dan ada yang tercetak beberapa kali. Dengan berat hati, ia harus mengurus proses retur ke LAI dan kini harus menunggu pengiriman kembali, entah sampai kapan. Barang yang ia idamkan sempat ada di tangannya, namun seolah ditarik kembali. Arga hanya bisa menggerutu, "Ada-ada saja," lalu mencoba melupakan kejadian aneh itu.
Beberapa hari setelah drama Alkitab itu, di kantor, ia sedang bercerita santai kepada Widodo, rekannya dari divisi Public Relations. Ketika Arga menyebut rencananya untuk mendaftar S2 MTI
, Widodo mendengarkan dengan kening berkerut.
"Serius mau lanjut MTI
, Ga?" tanyanya. "Menurutku, sih, percuma."
Arga terkejut. "Lho, kenapa percuma?"
"Lihat saja dirimu," jawab Widodo. "Setiap ada masalah teknis paling rumit di kantor ini, ujung-ujungnya semua orang lari ke kamu. Kamu jelas sudah paling jago. Lanjut S2 di bidang yang sama paling hanya akan mengulang hal yang sudah kamu kuasai di luar kepala. Kamu nggak butuh tantangan teknis lagi, Ga. Kamu butuh tantangan yang benar-benar baru."
Arga terdiam. Widodo lalu tertawa. "Coba deh, ambil S2 Teologi
. Itu baru tantangan!"
Celetukan itu, di waktu yang lain, mungkin hanya akan menjadi lelucon sesaat. Tapi setelah drama Alkitab yang sempat datang lalu "pergi" lagi, kalimat "S2 Teologi
" terdengar seperti gema yang memekakkan telinga. Malam itu, Arga tidak bisa tidur. Logikanya memberontak, namun hatinya resah. Ia tiba-tiba teringat sesuatu yang telah ia kubur dalam-dalam.
Sebuah nazar dari masa SMP. Saat ia ketakutan setengah mati menghadapi Ujian Akhir Sekolah, ia berdoa dengan putus asa. Dalam kepolosannya yang licik, ia mencoba "menipu" Tuhan. “Tuhan, kalau Engkau luluskan aku dengan nilai baik, aku berjanji akan menjadi pendeta.” Tentu saja ia tidak bersungguh-sungguh. Itu hanyalah janji kosong seorang anak yang ketakutan. Ia lulus dengan nilai memuaskan, dan nazar itu ia lupakan begitu saja.
Hingga malam ini. Widodo, Alkitab salah cetak yang harus diretur, dan kini ingatan akan nazar itu... semuanya terasa seperti sebuah konspirasi kosmik. Tuhan seolah-olah sedang menagih janji dengan cara yang paling kreatif dan modern.
Didorong oleh rasa takut, penasaran, dan mungkin sedikit rasa bersalah, Arga melakukan hal yang paling tidak masuk akal. Ia menunda pendaftaran MTI
-nya, dan dengan tangan gemetar, ia mendaftar ke program Magister Teologi. Ia tidak tahu tujuannya. Ia hanya merasa sedang menjawab sebuah panggilan yang tidak bisa ia tolak lagi.
Studi teologi terasa seperti sebuah pengadilan. Setiap kali ia mempelajari tentang panggilan dan kesetiaan, ia merasa tertuduh. Ia bukan mahasiswa biasa; ia adalah si penipu Tuhan yang kini seolah sedang "dihukum" untuk belajar tentang-Nya. Ia merasa seperti Yunus yang mencoba lari namun akhirnya ditelan badai dan dipaksa menuju ke tempat yang tidak ia inginkan.
Namun, ia tetap belajar. Ia menjalani prosesnya dengan ketekunan seorang programmer yang sedang membedah sistem yang paling rumit: sistem keyakinan itu sendiri.
Dan di tengah pergulatannya, sebuah keajaiban terjadi. Logikanya tidak hancur, malah diperkaya. Imannya tidak dipaksakan, malah bertumbuh secara organik. Ia mulai melihat koneksi-koneksi ilahi:
- Etika dan Algoritma: Ia sadar bahwa "dosa" bisa tertanam dalam sebuah kode, menciptakan ketidakadilan sistemik.
- Manusia dan Teknologi: Ia belajar bahwa setiap inovasi teknologi adalah sebuah tindakan teologis, karena ia membentuk cara manusia berhubungan satu sama lain dan dengan penciptanya.
Ia tidak sedang dihukum. Ia sedang dipersiapkan.
Suatu sore, setelah penantian panjang, paket pengganti dari LAI akhirnya tiba. Ketika Arga membukanya, ia terkejut. Alkitab di tangannya bukan sekadar edisi perbaikan dari yang lama. Ini adalah AES versi terbaru, edisi yang bahkan lebih baik dan lebih lengkap dari yang ia beli pertama kali. Dengan hati yang sungguh sangat senang, ia membolak-balik halamannya yang tercetak sempurna.
Di tengah kebahagiaan kecil itu, sebuah pemahaman utuh menghantamnya. Perjalanan Alkitab ini... adalah cerminan sempurna dari perjalanannya sendiri.
Tuhan tidak sedang menagih janjinya secara harfiah. Nazar yang "salah cetak" dari seorang anak SMP itu telah ia "retur" kepada Tuhan melalui proses studinya. Dan kini, Tuhan menggantinya, bukan dengan hal yang sama, tetapi dengan sebuah panggilan versi terbaru yang jauh lebih sesuai untuknya. Tuhan telah mempersiapkannya, melalui bakatnya di teknologi dan pergulatannya di teologi, untuk sebuah pelayanan yang jauh lebih unik.
Dan inilah pemahaman barunya: ia memang tidak pernah berniat menjadi pendeta. Mimbarnya bukanlah di dalam gereja, melainkan di persimpangan antara kode dan kemanusiaan. "Jemaat"-nya bukanlah umat di bangku gereja, melainkan para pengguna teknologi yang membutuhkan sentuhan welas asih dalam setiap inovasi. Janjinya untuk "melayani Tuhan" tidak dipenuhi dengan memakai "jubah", melainkan dengan memasukkan jiwa ke dalam setiap tulisan dan baris kodenya.
Arga menemukan bahwa Tuhan punya cara yang luar biasa lucu dan sabar dalam membimbing. Ia yang dulu mencoba menipu Tuhan, justru mendapati dirinya telah dipersiapkan dengan begitu teliti untuk sebuah tujuan yang tidak pernah ia bayangkan. Dan cara ia menjawab panggilan itu adalah dengan terus belajar, karena belajar itu sendiri adalah sebuah bentuk pelayanan—sebuah proses di mana Tuhan membentuk kita untuk menjadi berkat dengan cara-Nya yang paling tak terduga.
Posting Komentar